TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga pemantau hak asasi manusia, The Indonesian Human Right Monitor (Imparsial), menilai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung sebagai langkah mundurnya proses demokrasi. Koordinator peneliti Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan pilkada dengan model seperti itu akan membatasi partisipasi politik masyarakat.
"Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung akan menguatkan politik transaksional," ujar Gufron, Kamis, 11 September 2014. Dewan Perwakilan Rakyat sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Pilkada yang memicu kontroversi. RUU Pilkada mengubah mekanisme pemilihan gubernur dan bupati/walikota dari model pemilihan langsung menjadi melalui perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Gufron mengakui bahwa pilkada secara langsung yang selama ini diterapkan memang memiliki sejumlah persoalan. Namun dia menuturkan sejumlah persoalan tersebut, seperti politik uang dan isu SARA, tidak tepat dijadikan alasan pengubahan sistem pilkada. "Pengubahan ini membatasi hak demokratis rakyat dalam menentukan pemimpin."
Imparsial mengingatkan bahwa penerapan pilkada langsung sejak 2005 merupakan bagian dari agenda reformasi 1998. Sebab, mekanisme politik elektoral terbukti membuka ruang partisipasi politik rakyat dalam memilih figur-figur kredibel di daerah.
Imparsial menolak pengubahan mekanisme pemilihan melalui DPRD. Menurut Gufron, perbaikan dalam penyelenggaraan pilkada harus dilakukan, tapi tidak perlu menyerahkan pemilihan ke DPRD. "Perbaikan itu di antaranya penyelenggaraan pilkada yang dilakukan secara serentak," ujarnya.