Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). TEMPO/Jacky Rachmansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Susanto mengatakan, kasus plagiat oleh para dosen banyak terjadi di publikasi ilmiah berupa artikel di jurnal. Bahkan, apabila dibandingkan plagiat artikel lebih banyak daripada plagiat dalam penyusunan naskah akademik seperti skripsi, tesis, dan disertasi atau buat publikasi populer. "Lebih banyak plagiat pada artikel jurnal," kata Djoko saat berkunjung ke kantor Tempo di Jakarta, Selasa 25 Februari 2014.
Menurut Djoko, plagiat itu diketahui ketika tim redaksi jurnal-jurnal dalam negeri memeriksa artikel dosen yang bersangkutan. Indikasi adanya plagiasi, kata Djoko, biasanya isi artikel ada yang sama dengan gagasan dalam buku orang lain tapi si penulis tak mencantumkan sumber referensi atau sumber modifikasinya. "Kalau sudah begitu langsung tak bisa diterbitkan artikel mereka," kata Djoko. (Baca: 8 Kasus Plagiat Paling Heboh di Indonesia)
Djoko menjelaskan, penerbitan artikel jurnal dalam negeri memang belum seketat di luar negeri. Sehingga untuk memeriksa apakah artikel dosen bukan plagiat, cuma melalui pemeriksaan redaksi jurnal. "Saya anjurkan para dosen menulis buat jurnal internasional, yang otomatis tersaring mana yang jiplakan mana yang bukan," katanya.
Isu plagiat di kalangan akademik mencuat kembali setelah dosen ekonomi Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu dituding menjiplak karya orang saat menulis artikel berjudul Gagasan Asuransi Bencana yang diterbitkan Kompas, Senin, 10 Februari lalu. Anggito dinilai menjiplak karya Hatbonar Sinaga berjudul Menggagas Asuransi Bencana yang juga dimuat Kompas pada 21 Juli 2006.
Anggito membantah bahwa dia menjiplak karya Hatbonar. Dia mengklaim artikel itu berawal dari gagasan pembiayaan bencana tsunami Aceh 2005 dan bahan seminar asuransi bencana di UGM bekerja sama dengan Bank Dunia pada 2011 lalu. (Baca: UGM Bentuk Tim Teliti Plagiarisme Anggito)