TEMPO.CO, Bandung - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Yayat Hidayat, mengatakan anggota KPU Kabupaten Garut, Mustafa Fatah, masih menerima gaji meski statusnya terpidana korupsi. "Dia sudah di nonaktifkan, tapi karena mengajukan banding berarti keputusan (hukumnya) belum inkracht jadi tetap mendapatkan haknya, uang kehormatan," kata dia pada Tempo, Selasa, 24 Desember 2013.
Menurut dia, Mustafa hanya diberhentikan sementara. Haknya akan hangus jika dia resmi diberhentikan dari jabatannya. "Aturannya memang begitu, kalau belum inkracht masih berhak mendapat uang kehormatan," ujar Yayat.
KPU baru resmi memberhentikan Mustafa dari jabatannya sebagai anggota KPU Garut karena masa jabatannya berakhir per tanggal 23 Desember 2013, sedangkan empat anggota lainnya masih diperpanjang masa jabatannya menunggu proses pilkada Garut yang memasuki putaran kedua berakhir. "Dia diberhentikan itu bukan karena soal hukum, tapi karena masa akhir jabatannya sudah habis," kata dia.
Ditanya mengenai desakan pada Mustafa untuk mengembalikan uang kehormatan karena statusnya sudah menjadi terpidana, menurut Yayat itu soal etika. Tapi sesuai aturan dia masih berhak menerima uang kehormatan karena putusan hukumnya belum inkracht.
Mustafa Fatah adalah anggota KPU Kabupaten Garut, terpidana kasus korupsi hingga kini masih menerima honor sebagai komisioner kendati statusnya nonaktif. Dia divonis 7 tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada September 2011, karena terbukti menyelewengkan dana bantuan koperasi mikro bersubsidi dari Kementerian Perumahan Rakyat sebesar Rp 3,5 miliar pada 2010. Mustafa juga wajib membayar denda Rp 200 juta subsider 8 bulan penjara dan uang pengganti Rp 2 miliar subsider 4 tahun kurungan.
Bamsoet Tegaskan Pentingnya Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia
18 November 2023
Bamsoet Tegaskan Pentingnya Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia
Bambang Soesatyo menekankan bahwa walaupun penegakan hukum di Indonesia berorientasi kepada undang-undang (codified law), keberadaan yurisprudensi tetap bisa dijalankan.
Benarkah hukum itu netral? Sebagaimana wacana kebudayaan, dan hukum itu bagian dari kebudayaan, meskipun dapat diterapkan suatu prasangka baik bagi segenap praktisi hukum, posisi manusia sebagai subyek sosial membuatnya berada di dalam-dan tidak akan bebas dari-konstruksi budaya yang telah membentuknya. Meski pasal-pasal hukum ternalarkan sebagai adil, konstruksi wacana sang hamba hukumlah yang akan menentukan penafsirannya.
Saat ini terdapat lebih dari 40 ribu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk peraturan daerah saja, sejak Reformasi hingga 2015 telah diproduksi lebih dari 3.000 peraturan daerah provinsi dan lebih dari 25 ribu peraturan daerah kabupaten/kota. Tapi banyak di antaranya yang tumpang-tindih, tidak berdaya guna, dan sebagian justru menghambat pelaksanaan pembangunan. Sejak otonomi daerah diberlakukan, muncul ribuan peraturan daerah yang justru bermasalah.
Tak mengherankan, pada Reformasi Hukum Tahap I (Juni 2016), pemerintah mengimbau agar lebih dari 3.000 peraturan daerah dibatalkan. Penyebabnya, banyak regulasi yang multitafsir, berpotensi menimbulkan konflik, tumpang-tindih, tidak sesuai asas, lemah dalam implementasi, tidak ada dasar hukumnya, tidak ada aturan pelaksanaannya, dan menambah beban, baik terhadap kelompok sasaran maupun yang terkena dampak regulasi. Kualitas regulasi yang buruk bisa berdampak ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran, kinerja penyelenggara negara yang rendah, daya saing ekonomi rendah, minat investasi menurun, dan menimbulkan beban baru bagi masyarakat dan pemerintah.
Mantan Ketua MK: Harapan 2017, Pengadilan Independen
12 Januari 2017
Mantan Ketua MK: Harapan 2017, Pengadilan Independen
Sebagai benteng terakhir keadilan, pengadilan harus tetap memiliki independensi dan integritas tinggi serta menjadi tumpuan masyarakat pencari keadilan.