TEMPO.CO , Bener Meriah:Darah Agus Riandi, 12 tahun, bercucuran. Sang kakek, Ngatemin, 40 tahun, segera melarikannya ke puskesmas yang berjarak 18 kilometer dari rumahnya. Namun apa daya, tenaga medis tak terlihat. Bagunan puskesmas pun sudah runtuh. Ngatemin membawa Agus kembali ke desanya. Ia mencoba mendatangi bidan. Namun kembali rumah bidan sudah tak berbentuk.

Agus Riandi merupakan satu dari korban gempa 6,2 skala Richter di Aceh. Dia selamat dari reruntuhan masjid. Masjid desa bertingkat 2 yang baru 70 persen pembangunannya, rubuh rata dengan tanah. Lima teman cucunya tewas oleh reruntuhan bagunan masjid Desa Blang Mancung, kecamatan Ketol, Aceh Tengah, itu. Mereka adalah Doni (12), Putera (15), Diman (15) Fadhil dan Jihan (5) tahun.

Waktu magrib itu benar-benar menjadi pemandangan yang tak biasa bagi Ngatemin. Ngatemin adalah warga Blang Mancong. Pada hari naas itu ia sedang menghadiri undangan turun tanah anak Pak Selamat, tetanggany. Goyangan gempa begitu kuat. Sejumlah ibu ibu yang sedang memasak keluar berhamburan keluar rumah. Panik.

Tetangganya, Ibu Fitri yang sedang menggendong anaknya tertimpa bangunan. Ngatemin dan ibu lainnya mengangkat. Fitri selamat.

Ngatemin linglung. Warga lain berlari ke sana ke mari. Ia pun mencari cucunya Agusriandi yang tak bersamanya. Tak lama berselang, wajah Agus Riandi muncul dengan tangan berdarah.

“Kamu dari mana?” kata Ngatemin.
“Dari mesjid,” Agus menjawab.
“Kawan mu ke mana?”
“Masih di situ aku keluar sendiri.”

Maggrib itu warga mendobrak dan mengancurkan reruntuhan tembok masjid. Lima kawan Agus terkulai. “ Saya tidak sanggup membayangkan bagaimana dia selamat, sementara 5 kawan lainnya tertimbun,” kata Ibu Ngatemin berlinang air mata di pengungsian.

IMRAN MA

Topik Terhangat:
Tarif Progresif KRL | Bursa Capres 2014 | Ribut Kabut Asap | PKS Didepak? | Puncak HUT Jakarta