Sidang Cebongan, Polisi Militer Dimintai Jaminan
Editor
Sunu Dyantoro
Minggu, 23 Juni 2013 18:51 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta- Keluarga korban penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman dan Keluarga Komunitas Nusa Tenggara Timur mendesak sidang kasus itu bebas dari intimidasi. Keluarga juga meminta mantan Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabar Rahardjo dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan. Senin 24 Juni 2013 ini, Pengadilan Militer Yogyakarta kembali menyidangkan kasus Cebongan.
Vicktor Manbait, kakak korban penembakan, berharap persidangan selanjutnya mendatangkan mantan Kepala Kepolisian DIY sebagai saksi. Sebab, Kapolda DIY sempat berkomunikasi dengan Kepala Lapas Cebongan sebelum tragedi pembunuhan terjadi. "Kapolda dapat memberikan kesaksian apakah benar tidak ada tekanan atau deal dengan pihak tertentu untuk pemindahan keempat tahanan," katanya ketika dihubungi, Ahad 23 Juni 2013.
Viktor meminta polisi militer memberikan jaminan rasa aman kepada semua orang yang datang ke persidangan lanjutan. Ia menyayangkan adanya insiden sekelompok orang dalam persidangan perdana kasus Cebongan pada Kamis, 20 Juni 2013 di Yogyakarta.
Menurut dia, polisi militer dalam sidang perdana itu belum mampu memberikan rasa aman. Padahal, siapa pun berhak melihat proses peradilan yang jujur. "Aparat hanya menonton saat muncul insiden. Kami berharap tidak terjadi intimidasi dalam proses persidangan selanjutnya," kata dia.
Ia mengatakan intimidasi akan membuat para saksi tertekan karena peradilan yang jujur dan bebas tidak berjalan. Padahal, dalam persidangan diperlukan keterangan para saksi sebagai kunci mengungkap kasus pembantaian keluarganya.
Ketua Paguyuban Flores, Sumba, Timor, dan Alor (Flobamora), Hillarius Merro berharap polisi militer mampu mengantisipasi intimidasi dan provokasi dari sekelompok orang dalam persidangan lanjutan. Tekanan dari sekelompok orang berbahaya karena akan mempengaruhi kelancaran persidangan. "Biarkan sidang berjalan fair. Jangan ada tekanan yang bisa mengganggu independensi persidangan," kata dia.
Ia berpesan kepada seluruh masyarakat asal NTT di Yogyakarta untuk tidak gampang terpancing oleh provokasi sekelompok orang. Dengan begitu, masyarakat NTT tidak perlu berbondong-bondong hadir dalam persidangan.
Sementara itu, sedikitnya 50 warga Yogyakarta dari berbagai elemen mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sleman atau Cebongan, kemarin. Mereka mengirim surat kepada kepala LP Cebongan untuk meminta para saksi tidaaak menggunakan telekonferensi saat sidang.
Surat terbuka ditulis dengan tangan, bukan ketikan itu diserahkan langsung kepada pejabat LP Cebongan diwakili Kepala Bagian Tata Usaha Aris Bimo oleh Koordinator Elemen Masyarakat Yogyakarta Pendukung Keadilan Agung Murharjanto. "Kami menolak kesaksian telekonferensi karena tidak ada urgensinya," kata Agung. Sebab, kata dia pengadilan itu sifatnya terbuka untuk umum. Jika saksi tidak hadir langsung di persidangan dikhawatirkan ada intervensi.
Elemen dari FKPPI, Paksikaton, Face of Jogja, Forum Jogja Rembug, Srikandi Mataram, dan beberapa elemen mempertanyakan alasan saksi tahanan dan sipir enggan datang ke pengadilan. Apalagi jarak antara LP Cebongan dan Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta tidak jauh. Secara teknis pun, sangat memungkinkan untuk dihadirkan.
Sebanyak 42 saksi, 11 sipir dan 31 tahanan menjadi saksi kasus penyerangan Cebongan 23 Maret 2013. Akibat penyerangan oleh anggota Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan Kartosuro, Sukoharjo, 4 tahanan titipan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta tewas mengenaskan dengan luka tembak. Keempat tahanan itu merupakan tersangka penganiayaan Sersan Kepala Heru Santoso, anggota Kopassus di Hugo's Cafe, 19 Maret 2013.
SHINTA MAHARANI | MUH. SYAIFULLAH