TEMPO Interaktif, Jakarta: Teuku Iskandar Ali, wartawan Majalah Tempo, yang juga dituntut dua tahun penjara dalam kasus pencemaran nama baik Tomy Winata menyatakan pemulung bukanlah suatu pekerjaan kotor atau hina. "Tangan mereka memang kotor, tetapi hati dan profesi mereka bersih dan murni seperti air zam-zam," katanya saat membacakan nota pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (30/8). Tengku Iskandar Ali dituntut bersalah dalam pencemaran nama baik Tomy Winata karena mencantumkan kata "pemulung besar" yang dialamatkan kepada Tomy Winata. Jaksa penuntut umum menilai kata tersebut merendahkan harkat dan martabat bos Artha Graha tersebut. Dalam nota pembelaan, Teuku Iskandar Ali yang berjudul "Menuntut Keadilan yang Sejati", ia mengatakan, pemulung adalah seorang yang jujur, tahu berterima kasih, ulet dan mau berusaha secara halal. Mereka malah ikut membantu membersihkan lingkungan dari limbah dan sampah dan hasil penjulan barang pulungan untuk menghidupi keluarga mereka. Menurut Teuku Iskandar Ali, kata pemulung yang kata dasarnya berarti pulung, tidak berkonotasi negatif. Pulung dalam bahasa Jawa bisa diartikan sebagai anugrah. Sedangkan dalam bahasa Kawi (Jawa kuno) pulung berarti pula wahyu. Dalam konteks sosiolinguistik di pedesaan Jawa, pulung biasanya dikaitkan dengan pemilihan kepala desa. "Bila pulung meluncur ke arah rumah kades tertentu, warga desa menyakini bahwa dia yang akan terpilih," katanya. Ia juga mengingatkan sanjungan yang diberikan mantan Presiden Soeharto kepada para pemulung. Para pemulung itu, menurut Soeharto, mereka pantas mendapatkan penghargaan. Karena telah membersihkan lingkungan.Teuku Iskandar Ali mengatakan, "pemulung besar" dalam tulisan itu adalah metafora yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Ia menyatakan keheranan jika Tomy Winata merasa terhina atas sebutan kata pemulung tersebut. "Padahal telah saya sanjung beliau menjadi pemulung besar alias entrepreuner alias pengusaha besar alias konglomerat. Di akhir pembelaannya, Teuku Iskandar Ali menolak dirinya diadili dengan menggunakan KUHP. Pasal KUHP yang dikenakan terhadap dirinya adalah upaya untuk membungkam kemerdekaan berekpresi dan meredam pandangan kritis. "Bebaskan saya dan dua rekan saya (Ahmad Taufik dan Bambang Harymurti) dari tuntutan yang lancung itu," katanya. Edy Can - Tempo News Room
Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan
23 Februari 2024
Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan Perpres Publisher Rights mesti diterapkan dengan prinsip keadilan.