Warga Tionghoa Solo Desak SBKRI Dihapus

Reporter

Editor

Kamis, 19 Agustus 2004 17:42 WIB

TEMPO Interaktif, Solo: Warga keturunan etnis Cina di Solo mendesak pemerintah menghapuskan kebijakan keharusan pencantuman Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga keturunan Tionghoa dalam pengurusan identitas diri. Mereka menilai pemerintah belum sungguh-sungguh dalam menghapuskan syarat pencantuman SKBRI ini. Buktinya, sesuai ketentuan pemerintah, warga keturunan atau suku yang lahir sebelum tahun 1996, diwajibkan memiliki surat kewarganegaraan itu (SBKRI).Bagi generasi muda Tionghoa yang lahir setelah 1996, SBKRI tidak dipersyaratkan saat mengurus dokumen identitas diri. "Namun bagi mereka yang lahir sebelum 1996, SBKRI masih berlakukan sebagai syarat sehingga sering menimbulkan pertanyaan dan ganjalan," ungkap Sumartono Hadinoto, Ketua III Paguyuban Masyarakat Surakarta (PMS). Warga etnis Tionghoa Solo yang tergabung dalam PMS sudah menyampaikan keberatan tersebut kepada pemerintah. Sejumlah pengurus PMS sudah menemui Walikota Solo, Slamet Suryanto untuk melanjutkan aspirasi mereka kepada Presiden RI. PMS juga meminta Walikota Solo, agar Pemkot Solo dapat mempelopori dalam menghapuskan SBKRI tersebut. "Banyak kendala di lapangan dengan keberadaan SBKRI itu. Selain merepotkan juga memerlukan proses rumit dan berbelit. Selain itu juga perlu dipertanyakan tujuan kebijakan itu untuk apa. Sebagai sesama wong Solo dan juga warga RI, kami keberatan dengan berlakunya ketentuan pencantuman SBKRI," tandas Sumartono. Selama ini surat bukti kewarganegaraan tersebut terdiri atas 16 macam formulir. Dengan demikian lanjut Martono, prosesnya otomatis tidak bisa cepat selesai dan berbelit. Terlebih lagi, ditambah dengan kendala di lapangan dimana tidak semua perangkat kelurahan maupun kecamatan mengetahuinya. "Repotnya lagi, setiap kali perpanjangan, syaratnya juga cukup beragam. Akhirnya banyak kasus pengurusan SBKRI itu jadi hal sulit buat warga keturunan. Padahal, ketentuan itu dasarnya adalah hukum kolonial yang seharusnya tidak diberlakukan lagi," tambahnya. Diakui Sumartono, sebenarnya sudah banyak staf pemerintahan yang tidak mensyaratkan SBKRI untuk mengurus perpanjangan KTP. Hanya saja tidak sedikit pula, mereka yang masih tetap mensyaratkan SBKRI tersebut. Menanggapi keluhan warga Tionghoa tersebut, Pemkot Solo akan mempelopori pemberian kemudahan bagi warga keturunan dengan menghapus syarat SBKRI dalam pengurusan dokumen. "Pak Walikota, akan mengajukan kepada pemerintah pusat, agar ketentuan pemilikan SBKRI bagi warga keturunan dihapuskan," ungkap Purnomo Subagyo, Kepala Badan Informasi dan Komunikasi (BIK) Pemkot Solo. Sebelum ketentuan yang diatur dalam staatblat atau hukum kolonial itu dihapus, Pemkot juga akan menggelar sosialisasi pada warga keturunan mengenai mekanisme pengurusannya. PMS diminta mengumpulkan warganya untuk diberi sosialisasi oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk capil). "Wali Kota juga sudah berkomitmen soal SBKRI. Sebisa mungkin Kota Solo menjadi pelopor untuk penghapusannya. Wali Kota sudah mengirimkan surat ke Pusat untuk merubah aturan-aturan itu. Pak Wali sudah mengirim surat ke pemerintah pusat untuk membuat kebijakan pelaksanaan teknis mengenai penghapusan SBKRI," tambah Purnomo. Anas Syahirul - Tempo News Room

Berita terkait

Kilas Balik Kerusuhan Mei 1998, Kerusuhan Berbau Rasial di Jakarta dan Solo

5 hari lalu

Kilas Balik Kerusuhan Mei 1998, Kerusuhan Berbau Rasial di Jakarta dan Solo

Selama 4 hari lebih, kerusuhan Mei 1998 menghantam berbagai kota di Indonesia termasuk Jakarta dan Solo, mengguncang masyarakat, bahkan memicu trauma

Baca Selengkapnya

Sekolah di Texas Dilaporkan ke Kementerian Pendidikan karena Diduga Diskriminasi Gender

8 hari lalu

Sekolah di Texas Dilaporkan ke Kementerian Pendidikan karena Diduga Diskriminasi Gender

Kementerian Pendidikan Amerika Serikat melakukan sebuah investigasi hak-hak sipil ke sebuah sekolah di setalah Texas

Baca Selengkapnya

Inilah 4 Akar Masalah Papua Menurut LIPI

34 hari lalu

Inilah 4 Akar Masalah Papua Menurut LIPI

Ada empat akar masalah Papua, yakni sejarah dan status politik, diskriminiasi, kekerasan dan pelanggaran HAM berat, dan kegagalan pembangunan.

Baca Selengkapnya

Asal Mula Hari Peduli Autisme Sedunia, Memahami Orang-orang dengan Spektrum Autisme

45 hari lalu

Asal Mula Hari Peduli Autisme Sedunia, Memahami Orang-orang dengan Spektrum Autisme

Hari Peduli Autisme Sedunia diperingati setiap 2 April untuk meningkatkan kesadaran tentang Gangguan Spektrum Autisme (ASD)

Baca Selengkapnya

Begini Ketentuan dan Bunyi Pasal Penistaan Agama yang Menjerat Panji Gumilang

52 hari lalu

Begini Ketentuan dan Bunyi Pasal Penistaan Agama yang Menjerat Panji Gumilang

Panji Gumilang dijerat Pasal Penodaan Agama, penghinaan terhadap agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 156a KUHP.

Baca Selengkapnya

Mangkrak 20 Tahun, Apa Itu RUU PPRT yang Belum Juga Disahkan DPR?

10 Maret 2024

Mangkrak 20 Tahun, Apa Itu RUU PPRT yang Belum Juga Disahkan DPR?

Dua dekade RUU Perindungan Pekerja Rumah Tangga mangkrak tidak disahkan. Ini penjelasan mengenai RUU PPRT.

Baca Selengkapnya

International Women's Day Jogja 2024, Srikandi UGM: Rebut Kembali Hak Perempuan yang Tidak Diperjuangkan Pejabat Negara

8 Maret 2024

International Women's Day Jogja 2024, Srikandi UGM: Rebut Kembali Hak Perempuan yang Tidak Diperjuangkan Pejabat Negara

Peringatan International Women's Day Jogja 2024, Ketua Divisi Aksi dan Propaganda Srikandi UGM sebut mengusung tema "Mari Kak Rebut Kembali!"

Baca Selengkapnya

Tentara Perempuan Ukraina Berperang di Dua Front: Melawan Rusia dan Diskriminasi di Militer

8 Maret 2024

Tentara Perempuan Ukraina Berperang di Dua Front: Melawan Rusia dan Diskriminasi di Militer

Kementerian Pertahanan Ukraina mengatakan pada Oktober lalu bahwa hampir 43.000 tentara perempuan saat ini bertugas di militer.

Baca Selengkapnya

Malaysia Menang Terkait Isu Diskriminasi Uni Eropa terhadap Sawit di WTO

7 Maret 2024

Malaysia Menang Terkait Isu Diskriminasi Uni Eropa terhadap Sawit di WTO

Malaysia memenangkan gugatan di WTO melawan tindakan diskriminasi Uni Eropa terhadap produk biofuel dari minyak sawit.

Baca Selengkapnya

Kisah Marie Thomas Melawan Diskriminasi hingga Jadi Dokter Perempuan Pertama di Hindia Belanda

19 Februari 2024

Kisah Marie Thomas Melawan Diskriminasi hingga Jadi Dokter Perempuan Pertama di Hindia Belanda

Marie Thomas dikenal sebagai dokter perempuan pertama. Ia melalui diskriminasi saat sekolah kedokteran

Baca Selengkapnya