Bupati Garut Aceng Fikri menunggu pemeriksaan di Markas Kepolisian Daerah Jawa Barat, Bandung, Selasa (29/1). Pemeriksaan Aceng ini terkait dengan laporan dari Sekretaris Satuan Tugas Komisi Perlindungan Anak dan Ibu, Ahmad Gufron yang menduga Aceng melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa FO, perempuan berusia 17 tahun melakukan persetubuhan. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
TEMPO.CO, Garut - Tim kuasa hukum Bupati Garut Aceng HM Fikri menilai keputusan Mahkamah Agung banci dan tak bisa dieksekusi. Putusan MA, yang mengabulkan permohonan pemakzulan Aceng oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat, dinilai tak jelas.
"Keputusan MA ini sifatnya deklaratif, dan pernyataannya hanya sebatas menjustifikasi dan melegitimasi pendapat DPRD Garut," ujar penasihat hukum Bupati Aceng, Ujang Sujai Toujiri, kepada Tempo, Rabu, 30 Januari 2013.
Menurut dia, putusan majelis hakim tidak konstitutif. Soalnya, amar putusan tidak mencantumkan berat hukuman dan sanksi administratif untuk Aceng. Padahal, perintah hukuman ini diperlukan bagi para pihak yang akan menerima putusan tersebut. "Bagaimana mau bisa diinterpretasi? Keputusannya tidak jelas seperti ini," ujar Ujang.
Selain itu, dalam amar putusannya, majelis hakim tidak menyertakan pertimbangan hukum. Padahal, kajian hukum itu biasanya terlampir dalam putusan hakim. Dalam pertimbangan itu, majelis hakim biasanya menyertakan pertimbangan pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa atau terlapor.
Karena itu, Ujang menilai keputusan MA ini tidak bisa dijadikan landasan untuk DPRD memakzulkan Aceng. Apalagi usulan dewan untuk memberikan sanksi kepada Bupati Aceng sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tidak dikabulkan dan dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim dalam amar putusannya.