Larangan Duduk Mengangkang = Taliban Pakistan?
Editor
Yandi M rofiyandi TNR
Minggu, 13 Januari 2013 13:27 WIB
TEMPO.CO, Banda Aceh - Seruan bersama Pemkot Lhokseumawe tentang larangan perempuan yang membonceng sepeda motor duduk mengangkang dihubungkan dengan upaya menegakkan syariat, nilai budaya, dan adat masyarakat Aceh. Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) menilai hal tersebut sebagai pembodohan publik dan meniru Taliban Pakistan.
Berdasarkan kajian JMSPS, tidak ada satu pun hukum syariat atau fikih sepanjang perkembangan studi pengetahuan Islam yang berbicara tentang larangan duduk mengangkang bagi perempuan dalam berkendaraan. "Demikian juga tidak ada satu pun adat Aceh, baik adat istiadat maupun hukum adat, yang melarang perempuan duduk mengangkang di kendaraan," kata Affan Ramli, juru bicara JMSPS, Ahad, 13 Januari 2013.
Menurutnya, tata cara duduk baik laki-laki maupun perempuan di tempat mana pun, di rumah atau di kendaraan, sepenuhnya bagian dari sopan santun lokal yang tidak punya ukuran universal. "Sopan santun cara duduk tidak pernah diatur dalam aturan pemerintah sepanjang sejarah Aceh. Itu sepenuhnya dibentuk melalui pendidikan dan kebiasaan," ujarnya.
Affan mengatakan aturan ini membuka ruang yang besar bagi terjadinya kekerasan dan perlakuan yang tidak senonoh oleh kelompok-kelompok masyarakat ekstrem atau fanatik terhadap perempuan-perempuan yang mengabaikan seruan larangan duduk mengangkang saat membonceng. Apakah Pemkot Lhok bertanggung jawab atas segala dampak negatif atas seruan ini?
Sebaiknya, Pemerintah Kota Lhokseumawe belajar pada model-model pembumian syariat Islam Aceh di masa lalu dengan menghidupkan akhlak islami dan sopan santun melalui pendidikan dan kebudayaan.
Lebih lanjut, Affan berpendapat tampaknya Kota Lhokseumawe meniru cara bersyariat Taliban di Pakistan dan pemerintah Arab Saudi, bukan terinspirasi dari Islam kultural dan sufistik Aceh. "Taliban Pakistan melarang perempuan sekolah, pemerintah Saudi melarang perempuan menyetir mobil, dan Pemkot Lhokseumawe dengan jiwa dan semangat yang sama melarang perempuan duduk megangkang di atas sepeda motor," kata Affan.
Karenanya JMSPS mengimbau masyarakat Lhokseumawe untuk mengabaikan seruan tersebut. Ini agar menjadi pembelajaran di masa yang akan datang bagi Pemerintah Kota Lhokseumawe untuk membuat pertimbangan yang matang dan cerdas ketika ingin membuat aturan atau imbauan, apalagi jika aturan itu terkait dengan syariat dan adat Aceh.
Seorang warga Lhokseumawe, Darmawati, kepada Tempo mengatakan aturan tersebut belum sepenuhnya dipenuhi oleh warga Kota Lhoksemawe. "Masih banyak perempuan yang duduk ngangkang ketika membonceng di sepeda motor," ujarnya.
Dia sendiri menilai aturan tersebut masih menimbulkan pro-kontra di masyarakat. "Sepertinya larangan itu tidak terlalu penting, malah dapat membahayakan warga dan rawan terjatuh."
Pemerintah Kota Lhokseumawe mengeluarkan aturan larangan mengangkang pada 7 Januari lalu. Dalam imbauan yang ditandatangani Wali Kota Suadi Yahya itu disebutkan; perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami maupun sesama perempuan, agar tidak duduk mengangkang, kecuali dalam kondisi terpaksa atau darurat. Simak berita unik dan ngangkang dari Lhokseumawe.
ADI WARSIDI