TEMPO.CO, Jakarta - Banyak ulama di Indonesia yang menganggap aliran Syiah sesat. Meski begitu, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat menganggap hubungan penganut Syiah dengan pemerintah baik.
Kang Jalal, sapaan Jalaluddin Rakhmat, mencontohkan soal permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar ia menjadi perwakilan Syiah di Indonesia yang pergi ke luar negeri. Permintaan itu datang ketika ada pertemuan menyangkut Syiah di dunia internasional. "Kementerian Agama yang mengutus saya," kata Kang Jalal kepada Tempo, Rabu, 29 Agustus 2012.
Secara organisasi, kelompok Syiah juga diakui keberadaannya oleh Kementerian Dalam Negeri. Hal itu terbukti dengan terdaftarnya IJABI sebagai organisasi massa. Kata Jalal, secara politik, penganut Syiah memiliki kedudukan yang sama dengan pengikut aliran lainnya. "Sama-sama memiliki hak berserikat dan berkumpul," ujarnya.
Sekitar dua tahun lalu, sejumlah ulama pernah melayangkan surat ke Presiden. Permintaannya, membubarkan IJABI. Sebelum sampai ke Presiden, surat itu disortir terlebih dahulu di Sekretaris Negara. Kang Jalal dan pengurus IJABI pun dipanggil. "Setelah kami jelaskan soal Syiah, pemerintah mengerti dan mendukung kami," katanya.
Lalu mengapa pemerintah tak tegas menangani konflik Syiah dan Sunni di Indonesia? Kata Kang Jalal, pemerintah memang tidak pernah tegas. Kadang mereka melakukan pembiaran terhadap satu kasus hingga memberikan preseden buruk ke masyarakat. Kang Jalal mencontohkan konflik Sampang. Di sana, polisi tak menangkap para penyerang, melainkan menahan si korban. "Sikap diam pemerintah malah jadi pendorong konflik," kata Kang Jalal.
Sejak kematian pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah, pada 18 Juli lalu, banyak pihak menilai hal itu sebagai keberhasilan ikhtiar negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir?