Suasana aksi keprihatinan "Malam Seribu Lilin" yang dilakukan Muslim Syiah di Tugu Proklamsi, Jakarta, sebagai tanda berduka atas terjadinya penyerangan terhadap warga Syiah di Sampang, Madura, (28/8). TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO , Jakarta: Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Haryono Umar mengatakan pihaknya siap membantu jika anak-anak komunitas Syiah kesulitan kembali ke sekolah. Menurut dia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanahkan setiap anak wajib mengenyam pendidikan hingga SMP.
"Kalau ada kesulitan, silakan lapor ke inspektorat, saya akan tindaklanjuti," kata Haryono saat dihubungi Tempo, 1 September 2012. Haryono mengatakan sekolah di daerah memang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, kata dia, kementerian tetap bertanggung jawab menjamin anak-anak itu tetap bersekolah.
Haryono mengatakan hak bersekolah anak-anak itu dilindungi undang-undang. Karena itu, menurut Haryono, harus dicari solusi supaya anak-anak yang bersekolah di Pasuruan, Malang, Rembang, dan Pekalongan itu bisa kembali ke bangku sekolah.
Haryono menanggapi laporan 60 anak-anak komunitas Syiah Sampang dipersulit kembali ke sekolah. Ketua Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (kontras) Surabaya Andi Irfan mengatakan Pemerintah Kabupaten Sampang mempersulit pemberian izin kepada pihaknya untuk mengantar anak-anak Syiah kembali ke sekolah.
Pemerintah Kabupaten Sampang meminta meminta Andi menyediakan surat kuasa dari pengungsi untuk mengantarkan anak-anak itu. Menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sampang Rudy Setiadi, syarat surat kuasa yang diberikan ke Kontras adalah prosedur untuk menjamin keamanan pengungsi Syiah saat dibawa keluar dari tempat pengungsian.
Sejak kematian pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah, pada 18 Juli lalu, banyak pihak menilai hal itu sebagai keberhasilan ikhtiar negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir?