TEMPO Interaktif, Yogyakarta:Sekitar 100 warga Nahdlatul Ulama (NU) dari kalangan pesantren dan mahasiswa, mendatangi makam KH Ali Ma'sum di Dusun Dongkelan, Kelurahan Krapyak, Yogyakarta, Jumat (14/5) sore. Kedatangan mereka untuk 'mengadu' karena sejumlah petinggi NU dinilai telah mengkhianati Khittah 1926 dengan terjun ke politik praktis. Prosesi mirip upacara kematian ini diawali dari depan kantor Yayasan Korps Dakwah Mahasiswa (Kodama) di Jalan Ali Ma'sum 04 Krapyak, sekitar pukul 15.00. Prosesi diawali oleh Gus Mu'thasim Billah dari Ponpes Pandanaran, Sleman, dengan pembacaan tahlil. Rombongan kemudian berjalan kaki menuju kompleks makam KH Ali Ma'sum di Dusun Dongkelan. Rombongan berhenti di depan makam untuk menyampaikan orasi dan maksud diselenggarakannya acara ini. Rombongan kemudian memasuki kompleks makam dan kemudian digelar acara tahlilan yang dipimpin oleh KH Abdul Muhaimin dari Ponpes Nuruh Umahat, Kotagede. Tahlil dilakukan tepat di depan makam KH Ali Ma'sum. Para peserta duduk secara takzim, dan diakhiri dengan tabur bunga ke pusara KH Ali Ma'sum.Usai acara tahlil, dibacakan pernyataan sikap di luar kompleks makam. Pembacaan pernyataan sikap dilakukan oleh Gus Mu'thasim Billah yang juga cucu KH Munawwir, pendiri Ponpes Al Munawwir, Krapyak.Dalam pernyataan sikapnya, warga NU Yogya yang tergabung dalam Komite Bersama Warga NU Penyelamat Khittah 1926 ini meminta semua pihak yang ada di dalam keluarga besar NU, terlebih yang berada di dalam struktur kepengurusan NU, harus tetap konsisten mempertahankan Khittah NU 1926 dan menolak segala upaya memutarbalikkan makna khittah untuk mendukung ambisi politik perorangan atau kelompok dengan berlindung di balik ketiadaan aturan formal organisasi."Keterlibatan Ketua Umum PBNU sebagai calon wakil presiden akan menjadi preseden buruk bagi citra NU ke depan," tegas Gus Mu'tashim Billah yang disambut teriakan 'hidup NU' oleh para peserta aksi.Mereka juga mendesak kepada siapapun yang berada dalam struktur kepengurusan NU, mulai dari tingkat pusat (PBNU) hingga ranting yang jelas-jelas bergerak dalam politik praktis, agar meletakkan jabatannya. Mereka juga mendukung pernyataan Rais Am Syuriah NU, KH Sahal Mahfudz, bahwa NU tidak memiliki kapasitas untuk terlibat dalam urusan capres dan cawapres. KH Abdul Muhaimin saat ditemui seusai acara menegaskan, tahlilan ini merupakan bentuk kekhawatiran dan keresahan warga NU atas dikhianatinya Khittah 1926. "Aksi ini adalah semata-mata untuk kemurnian Khittah NU. Kalau ada yang menuduh kegiatan ini dibiayai kelompok tertentu, saya justru curiga orang yang menuduh itu yang dibiayai kelompok tertentu," ujarnya.Heru CN - Tempo News Room