TEMPO Interaktif,
Jakarta: Gagalnya pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dengan Abdurrahman Wahid dengan fasilitator Sultan Hamengkubuwono X di keraton Yogyakarta, berbuah ketegangan hubungan antara Gus Dur dengan Sultan. Setelah Gus Dur menulis surat terbuka yang dimuat di media lokal Yogyakarta, giliran Sultan menulis surat terbuka yang juga dikirim ke media massa. Surat berkop keraton Yogyakarta setebal tiga halaman itu berjudul "Jawaban Terbuka untuk KH Abdurrahman Wahid dari Hamengkubuwono X", tertanggal 7 Mei 2004 dan ditandatangani Sultan. Menurut seorang staf keraton, surat terbuka itu dikonsep Sultan HB X sepulang dari kantor, yang kemudian diketik staf keraton dan baru sore harinya ditandatangani Sultan, sepulang dari bermain golf. Surat terbuka tersebut dikirim ke media massa, termasuk ke kantor perwakil TEMPO di Yogyakarta.Pada bagian awal surat terbuka yang terdiri dari sembilan alinea itu, Sultan memaparkan hubungan yang sudah terjalin baik antara dia dengan Gus Dur sejak zaman pemerintahan Soeharto. Menurut Sultan, pertemuan yang sering terjadi dengan Gus Dur sejak dulu, sebenarnya merupakan bagian dari komunikasi politik dan dialog budaya antara dua sahabat yang saling menghormati kedudukan masing-masing.Sultan HB X dalam surat terbukanya bahkan memaparkan pertemuannya dengan Gus Dur di keraton, menyusul penolakan Soeharto atas terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua PBNU. "Beliau sempat berkunjung ke keraton Yogyakarta, menyampaikan uneg-uneg beliau, walaupun ketika itu luput dari liputan media massa," demikian isi surat Sultan.Pertemuan antara dia dengan Gus Dur di kantor gubernuran DIY, 26 April 2004, menurut Sultan HB X, juga bagian dari komunikasi politik dan dialog budaya antar sahabat, bukan sebagai politisi. "Bedanya kalau dulu komunikasi dan dialog itu bersifat tertutup, sedangkan yang sekarang ini sangat transparan, karena diberitakan di berbagai media massa, yang juga secara terbuka pula," tulis Sultan HB X.Mengutip pernyataan Gus Dur, Sultan HB X menulis bahwa kedatangan Gus Dur ke Yogyakarta tanggal 26 April 2004 itu berdasar pesan dari "orang tua". Saat pertemuan itu Gus Dur juga menceritakan bagaimana para kyai sepuh (NU) kurang sependapat jika Gus Dur bertemu dengan Megawati, kecuali jika Megawati datang ke rumah Gus Dur di Ciganjur. Saat itu, Gus Dur juga menyatakan keberatan jika Megawati selaku presiden harus datang ke rumahnya di Ciganjur. "Disinilah kebesaran jiwa Gus Dur, meski secara pribadi masih ada ganjalan terhadap Ibu Mega, tetapi sebagai warga NU tetap menghormatinya sebagai seorang presiden," tulis HB X.Dalam surat terbukanya itu, Sultan HB X juga menceritakan upaya Gus Dur mendekati para kyai sepuh NU dan akhirnya diperbolehkan bertemu dengan Megawati, asalkan melalui pihak ketiga. Berdasar penuturan itu, Sultan HB X kemudian menawarkan menjadi mediator pertemuan itu. "Bagaimana kalau melalui saya, Kyai," tulis Sultan HB X mengutip pernyataannya sendiri saat itu kepada Gus Dur. Menurut Sultan HB X dalam surat terbukanya, saat itu Gus Dur secara spontan menjawab "mangga" (silakan). "Perkataan "mangga" itu saya tangkap maknanya sebagai mempersilakan untuk mengambil peran sebagai pihak ketiga, seperti dipesankan para Kyai Sepuh sebelumnya," tulis Sultan HB X.Menurut Sultan HB X, rencana pertemuan antara Gus Dur dan Mega tanggal 4 Mei itu tidak direncakan sebelumnya. Gagasan itu muncul secara spontan ketika Gus Dur bercerita kepada Sultan dalam pertemuan itu. "Yang jelas, bukan atas inisiatif saya untuk meminta Gus Dur bertemu Ibu Mega, tetapi saat itu sifatnya memang situasional," tulis Sultan HB X.Setelah ide itu bergulir, Sultan HB X kemudian berkomunikasi intensif melalui Bapak Pradjoto, baik ke pihak Gus Dur maupun dengan Megawati. "Laporan yang saya terima dari Pak Pradjoto adalah adanya kesiapan dari kedua belah pihak untuk bertemu di Kraton Yogyakarta pada 4 Mei 2004 sesuai rencana semula," tulisnya.Sebagai konfirmasi tas pertemuan yang telah disepakati itu, Sultan HB X kemudian mengirim undangan resmi yang disampaikan GBPH Joyokusumo (adik kandung Sultan HB X), pada 3 Mei 2004. Menurut Sultan, undangan resmi itu bukan merupakan permintaan agar pertemuan disetujui Gus Dur, tapi justru sebagai pengukuhan atas kesepakatan untuk bertemu di keraton Yogyakarta."Pada saat undangan itu disampaikan, sekitar pukul 14.00, Gus Dur sedang bersama Pak Pradjoto dan seorang pendamping beliau. Menurut laporan Pak Pradjoto, setelah adik saya meninggalkan ruangan, Gus Dur masih menyatakan kesediaan untuk hadir di Yogyakarta," tulisnya.Sultan menegaskan dalam surat terbukanya, uraian panjang yang dipaparkan itu bukan merupakan pemahaman dia pribadi, melainkan sebuah rangkaian fakta tentang urutan proses dan kejadian yang sebenarnya. "Jikalau fakta tersebut dianggap sebagai 'mispersepsi' dari pihak saya, saya menyadari, meski selama ini komunikasi yang terjalin selalu atas dasar ketulusan dan kejujuran, namun bagaimanapun saya tidak bisa menduga kedalaman isi hati beliau," tulis Sultan.Pada bagian akhir surat terbukanya, Sultan menegaskan KH Abdurrahman Wahid maupun Megawati adalah pemimpin bangsa yang dihormatinya. "Meski pertemuan itu gagal, saya tetap berpengharapan mereka sebagai pemimpin bansga masih dapat menyisakan ruang dan waktu untuk bersedia saling bertemu muka dan mendialogkan masalah-masalah bangsa ke depan, tanpa kehadiran saya sekalipun," tulis Sultan mengakhiri surat.
Heru CN - Tempo News Room