TEMPO.CO , Yogyakarta: Kerabat Keraton Yogyakarta, GBPH Prabukusumo, tidak keberatan atas keputusan pemerintah menetapkan Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur setiap lima tahun oleh DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Bentuk pengisian jabatan itu merupakan hasil pembicaraan antara pemerintah dan tim asistensi RUU Keistimewaan Yogyakarta. “Tak masalah dengan rumusan lima tahunan itu,” ujar adik tiri Sultan Hamengku Buwono X ini kepada Tempo.
Tapi, dia berharap, dalam rumusan yang dibuat, paugeran Keraton dapat ikut dimasukkan. “Kami harap paugeran Keraton bisa masuk, sehingga detail pengisian jabatan itu nantinya tidak mempersulit pihak Keraton,” kata Prabu.
Menurut dia, rumusan pengisian jabatan gubernur oleh Sultan juga harus detail, seperti bagaimana jika Sultan menolak menjadi gubernur, bagaimana jika belum memenuhi syarat, atau siapa yang berhak menggantikan jabatan tersebut. “Paugeran ini penting dimasukkan agar tidak menjadi bumerang bagi Sultan ketika mengambil keputusan soal pengisian gubernur,” kata dia.
Apalagi, kata dia, persepsi atas paugeran pun bisa saja tak sama di antara kerabat. Terlebih masih ada perdebatan, misalnya bagaimana jika Sultan tak punya anak laki-laki, bagaimana jika tersangkut masalah pidana, dan siapa putra dalem (anak raja) yang berhak bertakhta, yang belum selesai dibicarakan. “Kalau dalam paugeran kan diatur jelas, seperti jika calon Sultan belum memenuhi syarat, yang menggantikan adalah eyangnya, anaknya, kakak-adiknya, dan lainnya,” kata dia.
Memang, kata dia, gambaran aturannya sudah ada dan nanti DPRD DIY yang bertugas memverifikasi syarat calon gubernur dan wakil gubernur sesuai dengan undang-undang. “Tapi paugeran akan memperkuat posisi dan materi RUUK agar tak mudah diamandemen di pemerintahan selanjutnya,” ujarnya.
Sebaliknya, Sultan Hamengku Buwono X malah berharap prosedur penetapan Sultan dan Paku Alam menjadi kepala daerah tidak dibuat rumit. “Cari praktisnya sajalah dan tidak menimbulkan masalah,” kata dia.
Perbedaan persepsi terhadap paugeran di kalangan kerabat Keraton muncul selama perdebatan RUU Keistimewaan ini. Sebelumnya, adik kandung Sultan, GBPH Joyokusumo, mengatakan perubahan paugeran bisa saja terjadi. "Modifikasi aturan syarat itu sangat mungkin dilakukan karena selama ini dari masa HB I hingga sekarang pun banyak terjadi,” kata Joyokusumo, yang kini terbaring sakit akibat stroke.
Menurut dia, modifikasi itu, di antaranya bisa tentang raja yang ditunjuk adalah seorang putri, bukan laki-laki. “Sangat bisa itu terjadi, seperti kerajaan Inggris. Asalkan kerabat Keraton menilai itu layak dan bisa dipertanggungjawabkan," kata dia.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ari Sujito, mengatakan memasukkan paugeran dalam RUUK justru memperlama proses penyelesaian. Pasalnya, tak semua politikus di DPR bisa menafsirkan dan menerjemahkan inti paugeran kepada publik. “Kalau paugeran harus masuk, itu justru memperpanjang perdebatan dan tak menyelesaikan RUUK,” kata dia.
Menurut dia, justru saat ini tantangannya ada di lingkup internal Keraton. Bagaimana dalam kompetisi pemilihan Sultan selanjutnya kalangan kerabat tetap solid menentukan calon yang akan bertakhta, kemudian ditunjuk menjadi gubernur. “Kalau tidak solid, akan terjadi perpecahan di Keraton dan akan berdampak buruk pada RUUK yang diperjuangkan sekarang,” kata dia.
Sementara itu, Panja RUUK Yogyakarta mestinya bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kemarin siang. Tapi pertemuan untuk membahas mekanisme penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY gagal karena Gamawan berhalangan. "Sering terhambat faktor teknis untuk duduk bersama," kata Ketua Komisi Pemerintahan Agun Gunanjar kemarin. Tapi Gamawan mengaku optimistis pembahasan RUUK bisa selesai tepat waktu.
PRIBADI WICAKSONO | IRA GUSLINA SUFA