Menurutnya, hal itu terjadi karena sejak awal sudah salah, yakni pemberhentian Kapolri Bimantoro oleh Presiden. “Dan kalau sudah begini, saya sendiri juga tidak tahu,” tambah kriminolog dari Universitas Indonesia ini. Lebih lanjut Andrianus, katakanlah di Pasuruan itu memang ada kesalahan polisi (sebagai alasan penon-aktivan Bimantoro sebagai Kapolri), mengapa Presiden tidak meminta Bimantoro menghukum anak buahnya yang bersalah. “Jadi bukan dengan minta Bimantoro berhenti,” katanya.
Ia menambahkan, dengan tindakan Gus Dur meminta Bimantoro berhenti karena alasan itu, menimbulkan dugaan bahwa memang target Presiden adalah memberhentikan Bimantoro. “Dan target itu dilakukan dengan mengambil entry kasus di pasuruan itu. Apalagi kemudian ada hal-hal lain yang dijadikan alasan untuk itu,” ujarnya.
Seperti diketahui, Minggu (3/6) siang, Polri mengeluarkan pernyataan menolak segala campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas dan peranan kepolisian. Pernyataan sikap itu dibacakan Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Sofjan Yacoeb di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (3/6). Pernyatan itu ditandatasngani 102 perwira tinggi, termasuk Irjen Polisi Chaeruddin Ismail, yang sebelumnya ditunjuk sebagai Waka Polri oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Dalam pernyataan itu antara lain disebutkan, dalam pergolakan politik yang terjadi seperti saat ini sering terjadi, polisi digunakan sebagai institusi penekan demi mempertahankan atau merebut kekuasaan. Akibatnya, kata Yacoeb, polisi dapat kehilangan integritas sebagai penegak hukum yang netral dan konsekwensinya seringterjadinya pelanggaran HAM dan ketidakadilan, dan menjauhkan Polri sebagai institusi pengayom masyarakat.
Menurutnya, dalam era reformasi, polisi dituntut mandiri, lepas dari keterikatan politik pihak manapun, dan menempatkan diri sebagai alat negara bukan alat kekuasaan. Untuk itu, Polri tidak boleh terkooptasi oleh kekuasaan, dan Kapolri bersama jajaran teras serta seluruh anggota kepolisian menyatakan menolak segala campur tangan politik. (Y. Tomi Aryanto/Antara)