Catherine Panjaitan, putri Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, dalam acara itu menuturkan bahwa dirinya butuh waktu 20 tahun untuk bisa menghilangkan rasa traumanya yang mendalam akibat kematian sang ayah yang terjadi di depan matanya.
Bahkan, ia enggan menonton film G/30/S yang dulunya selalu diputar di layar kaca pada tanggal 30 September. "Saya tidak pernah menonton film itu karena tidak mau ulangi (ingatan) dalam film itu. Saya melihat dari jauh bagaimana ayah saya ditembak. Bagaimana dia..." kisah Catherine kepada para hadirin acara Silaturahmi Nasional.
Namun Catherine meminta kepada semua pihak untuk saling memaafkan dan memandang semuanya dari segi kemanusiaan. "Kalau orang tua kita berbuat salah, jangan teruskan sampai ke anak cucu kita. Biar lah saya mengalah, saya meminta maaf kepada putera-putera yang dulu dianggap lawan."
Kisah traumatis serupa juga diungkapkan oleh Ilham Aidit. Dia mengaku sejak terjadinya Gerakan 30 September tersebut dirinya harus merelakan nama belakangnya tidak disandingkan dengan nama depannya.
"Saya yang terbiasa menggunakan nama Ilham Aidit kini sudah tidak bisa lagi. Tangan saya berhenti lama sekali. Namun sejak saat itu saya tidak berani menambahkan nama Aidit."
Selama puluhan tahun dia pun tidak lagi menuliskan Aidit dibelakang namanya. Hingga akhirnya tahun 2003 dia melihat namanya disandingkan dengan nama Aidit di dalam foto di sebuah media. "Pertama kali saya melihat itu saya terharu sekali. Saat itu saya memakai nama itu lagi dan saya tetap hidup."
"Setelah G30S saya keluar rumah. Tiba-tiba saya melihat tulisan besar gantung Aidit, bubarkan PKI. Saya terkejut. Badan saya bergetar, jiwa saya bergetar," kisah Ilham dalam acara tersebut. Sejak itulah Ilham tahu bahwa kehidupannya akan sama sekali berbeda.
Beruntung dia pun diangkat anak oleh beberapa keluarga. "Ayah saya didaulat sebagai musuh besar bangsa. Puluhan tahun itu terjadi. Namun ada tangan-tangan lain, saya diangkat anak. Masa sekolah saya sulit sekali, semua bilang PKI, saat itu saya punya reaksi melawan."
Ilham mengatakan, apa pun upaya mereka merekonsiliasikan tragedi tersebut perlu banyak hal yang harus dicermati. Dia pun berharap agar rekonsiliasi ini tidak hanya rekonsiliasi semu. "Rekonsiliasi butuh sifat kesatria dan jiwa besar. No future without forgiveness," ungkap Ilham.
MUTIA RESTY