TEMPO Interaktif,
Jakarta:Beberapa organisasi non pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Keadilan meminta agar DPR membentuk tim kerja guna menyeleksi calon hakim agung. Dengan begitu, proses pemilihan hakim agung bisa terbebas dari kepentingan-kepentingan politis DPR maupun Mahkamah Agung (MA). Firmansyah Arifin, anggota koalisi dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), mengungkap hal itu dalam diskusi publik Pilih Hakim Agung yang Jujur, di hotel Acacia, Rabu (5/2). Selain KRHN, turut bergabung dalam koalisi ini adalah Indonesia Corruption Watch, Indonesia Court Monitoring, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Masyarakat Pemantau Peradilan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, serta Masyarakat Transparansi Indonesia. Menurut Firman, DPR belum memiliki standar kriteria yang jelas dalam proses pemilihan hakim agung sehingga banyak yang lebih condong mengukurnya dengan kadar rasa suka atau tidak suka terhadap calon hakim. Jadi, terlalu banyak interest politik yang masuk dalam proses itu melakui partai-partai di dewan, katanya. Apalagi, lanjut dia, di DPR banyak yang merangkap jabatan sebagai pengacara atau advokat. Dengan begitu, pertemuan dengan Mahkamah Agung dan calon hakim agung dalam proses seleksi banyak yang disalahgunakan untuk membahas perkara yang mereka tengah tangani bersama. Untuk menghindari kemungkinan bias dalam pemilihan, dia mengusulkan agar dibentuk tim kecil atau tim kerja untuk membantu DPR dalam proses rekruitmen dan seleksi calon hakim agung tersebut. Tim ini diharapkan juga bisa melakukan investigasi dan cross check terhadap track record calon hakim agung. Firman menekankan, pembentukan tim ini juga bisa mengembangkan partisipasi masyarakat dengan menyelidiki hasil pengaduan dan laporan masyarakat yang masuk tentang calon hakim agung. Usulan Firman ini diamini pengamat hukum Bambang Widjojanto. Ditegaskan, tim kerja bentukan DPR bisa lebih menjiwai proses pemilihan ketimbang DPR yang terlalu banyak beban rapat komisi dan kepentingan tertentu. Biarlah tim lakukan beberapa hal dalam rekruitmen dan penyaringan, berikut memberikan rekomendasi kepada DPR nama-nama yang memenuhi syarat formal maupun material, kata bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu. Setidaknya, tim kerja tersebut menjadi second opinion bagi DPR dalam mempertimbangkan hasil uji kelayakan para calon hakim agung. Selain itu, menurut Bambang, DPR harus mempertimbangkan cara pre hearing untuk seleksi awal pemilihan. Dalam tahap itu, calon hakim agung setidaknya bisa memaparkan visi dan misi, sekaligus pengalaman mereka dalam bidang hukum. Dari sini, tim bisa melihat integritas dan kapasitas calon hakim agung sebelum DPR memilih, katanya. Usulan itu pun disambut baik Anggota Komisi II DPR, Firman Djaya Daeli. Selama tim bekerja sebatas membantu menyeleksi, ia tak menolak gagasan itu. Selama tidak mengambil kewenangan DPR dalam menentukan pilihannya, saya rasa gagasan itu bagus sekali, katanya. Hakim Karier Pada bagian lain, Hakim Agung MA, Toton Suprapto, mengungkap tentang pentingnya menambah calon hakim dari jalur karier untuk menduduki posisi hakim agung. Pasalnya, kata Direktur Perdata Adat ini, tunggakan perkara memerlukan hakim yang bisa dengan cepat memberikan putusan. Memang terlihat sebagai penyelesaian jangka pendek, tapi inilah realitanya, kata dia. Lebih lanjut, Ketua Ikatan Hakim Indonesia ini mengaku kerap melihat hakim agung non karier hanya sekedar acc saja saat memutus perkara, atau memberikan pertimbangan dalam rapat majelis hakim. Ini terjadi lantaran sang hakim memiliki kesulitan saat membaca detail perkara yang tertulis dalam halaman yang jumlahnya ribuan. Padahal, hakim agung setidaknya harus memutus dua perkara dalam satu hari. Menanggapi masalah ini, Bambang berpendapat usulan itu tak menjawab persoalan MA. Ia yakin calon hakim agung non karier bisa memiliki kapasitas yang sama dengan hakim karier jika MA memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar sebelum menduduki jabatannya. Kan bisa diberi training dulu, katanya. Langkah itu dianggap lebih baik mengingat kebanyakan calon hakim agung karier yang diajukan telah berumur lanjut dan hampir pensiun. Dengan begitu, sangat tidak efektif jika meminta mereka menjabat hanya untuk waktu yang singkat. Ini juga untuk efisiensi anggaran, tak perlu berulang-ulang menyeleksi hakim agung karena banyak yang pensiun, padahal baru menjabat sebagai hakim agung, kata Firman Arifin, menimpali. Hingga saat ini, DPR telah merilis 63 nama calon hakim yang telah lulus syarat administratif. Dari 63 nama itu, 32 dari jalur non karier, dan 31 dari jalur karier. Sementara, kursi hakim agung yang kosong hingga Maret ini ada 26 kursi. Dua kursi untuk Hakim Agung Pengadilan Militer, empat kursi untuk Pengadilan Agama, tiga kursi untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, dan 17 kursi untuk Peradilan Umum.
(Sri Wahyuni-Tempo News Room)