Menurut dia, ada sebanyak 36 bangunan tua yang ditetapkan pemerintah kota sebagai cagar budaya. Bangunan itu terdiri atas gedung perkantoran, tempat ibadah, rumah tinggal, bekas stasiun hingga menara. Sebagian bangunan itu masih digunakan sesuai fungsinya.
Diantara bangunan yang masih berfungsi itu adalah tempat ibadah dan rumah sakit. Gereja Kristen Jawa Magelang misalnya, yang terletak di jalan Tentara Pelajar masih digunakan sesuai dengan fungsinya. Begitu juga dengan Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo di jalan Ahmad Yani.
Adapun rumah tinggal, kata dia, kini lebih banyak dikuasai secara pribadi oleh perseorangan. Diantara rumah-rumah itu adalah rumah yang terletak di komplek Kwarasan Kelurahan Cacaban Magelang Tengah. Contoh lain dari rumah tinggal yang ditetapkan sebagai cagar budaya adalah Gedung Bundar di jalan Sriwijaya.
Dia mengatakan kebanyakan bangunan tua dibangun pada pemerintahan Belanda. Hingga arsitektur bangunanannya bergaya kolonial. “Ini harus dilestarikan,” kata dia.
Pengelola dan pemilik bangunan, kata dia, hanya boleh melakukan perawatan saja seperti pengecatan. Adapun penggantian bahan bangunan harus dilakukan sesuai dengan aslinya.
Ibnu, seorang staf pegawai di Bidang Kebudayaan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Magelang mengatakan salah satu cara untuk mengendalikan agar bangunan itu tak berubah adalah dengan ijin mendirikan bangunan. “Tiap mau membangun atau mengubah kan harus ijin dulu,” kata dia.
Pengawasan terhadap bangunan tua, kata dia, cukup ketat diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya. “Menggeser letak (bangunan) pun tidak boleh,” kata dia.
ANANG ZAKARIA