Abolisi Soeharto Bertentangan dengan Semangat Pemberantasan KKN
Jumat, 10 Oktober 2003 09:56 WIB
Guru Besar Universitas Airlangga ini menilai alasan sakit permanen atau menghormati para pemimpin negara tidak berarti harus menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Apalagi kasus yang menyeret penguasa Orde Baru itu menjadi simbol pemberantasan KKN sehingga penegakan hukum terhadap pelaku KKN terus berjalan. "Kalau diberikan abolisi ini sama saja menghapus kasus hukumnya, tidak dilanjutkan. Bagaimana setelah itu sehat total, kan abolisinya tidak bisa dicabut," ujarnya.
Soewoto menegaskan abolisi diberikan saat proses hukum masih berjalan dan belum ada vonis yang diberikan sehingga jika dikeluarkan maka kasusnya pun akan terhapus. Untuk pemberian abolisi, ungkap dia, Presiden mempunyai kekuasaan tersebut dan harus meminta pertimbangan DPR sesuai dengan perubahan pertama konstitusi. "Jadi abolisi ini adalah penyelesaian secara politis, bukan proses hukum," Soewoto menambahkan.
Karena itu Soewoto menyarankan agar pemerintah Megawati berhati-hati dalam kebijakan memberikan abolisi tersebut. Sebab selain menjadi preseden buruk bagi hukum dan pemberantasan KKN juga akan menjadi catatan jelek pemerintahan Mega yang berjanji akan membersihkan KKN. Apalagi jika nantinya digulirkan ke parlemen, Soewoto pesimistis pemberian abolisi itu ditolak. Sebab di kalangan politisi kemungkinan lolosnya akan besar. "Pasti lolos, namun sadar tidak kalau produk itu tetap akan bertentangan dengan TAP MPR, jadi bermasalah," tambah dia.
Apa pun alasannya, Soewoto menganggap tepat jika proses hukum terhadap mantan Presiden Suharto tetap dilanjutkan. "Mungkin sama saja atau nol-nol hasilnya, tetapi jangan sampai dihentikan. Ya, ditangguhkan saja terus menerus. Jangan pakai alasan mantan presiden, sebab nanti enak saja jadi presiden bisa melanggar hukum, ber-KKN," ujar Soewoto. (dede ariwibowo - Tempo News Room)