Istri Gus Dur Minta Kurikulum Mengenai Sejarah TAP MPR soal Gus Dur Ditarik
Reporter
Hendrik Yaputra
Editor
Imam Hamdi
Minggu, 29 September 2024 13:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Istri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Sinta Nuriyah, meminta kurikulum sejarah mengenai penurunan Gus Dur ditarik untuk direvisi. Sejarah penurunan Gus Dur dengan dikeluarkannya Ketetapan (TAP) MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid harus segera direvisi. Sebab, TAP MPR itu sudah tak berlaku lagi.
"Kedua, kami minta segala bentuk baik buku pelajaran mengenai penurunan Gus Dur dalam TAP MPR harus ditarik untuk direvisi," kata Sinta saat memberikan sambutan dalam kegiatan Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR bersama keluarga Gus Dur di Nusantara IV Gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Minggu 29 September 2024.
MPR sebelumnya telah mengeluarkan surat administrasi berisi penegasan bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001 mengenai pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang isinya pemberhentian Gus Dur sebagai presiden tidak berlaku lagi.
MPR mengeluarkan surat penegasan bahwa TAP soal Gus Dur itu sudah tidak berlaku sejak diterbitkannya TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang meninjau status hukum berbagai TAP MPR dari tahun 1960 hingga 2002.
Sinta mengatakan, sebetulnya dengan adanya TAP MPR Nomor 1 tahun 2003, TAP MPR Nomor 2 soal Gus Dur tak berlaku lagi. Namun, pada kenyataanya, TAP MPR itu masih menjadi rujukan pemerintah untuk banyak hal. Salah satunya mengenai kurikulum sejarah yang dipelajari anak-anak di sekolah.
"Karenanya pencabutan Tap MPR nomor 2 ini, diharapkan dapat menjadi langkah awal sebagai landasan hukum bagi kepentingan rehabilitasi nama baik Gus Dur ke depan nanti," kata Sinta.
Sinta berharap rekonsiliasi ini dapat dilakukan dengan prinsip keadilan. Bukan sekedar basa basi politik semata. "Kami keluarga Gus Dur menyambut pencabutan ini dilakukan tidak dengan setengah hati," kata Sinta.
Dalam hal ini, Sinta meminta adanya pelurusan sejarah kepada sosok Gus Dur. Gus Dur kala itu mengalami kudeta parlementer. Hal itu merupakan kerancuan politik karena Indonesia tidak menganut sistem parlemen tapi presidensial.
Gus Dur dituduh melakukan prosedur yang salah. Ia bahkan dituduh melakukan korupsi. Namun, tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan sampai saat ini.
"Kami keluarga Gus Dur tak pernah dendam dengan pelengseran Gus Dur. Namun penting untuk meluruskan sejarah agar bisa belajar dan tak mengulang hal sama," kata Gus Dur.
Sinta juga berharap momentum pencabutan ini dimanfaatkan untuk menciptakan demokrasi esensial, bukan demokrasi prosedural yang direkayasa. Sehingga, tak ada rekayasa politik untuk menjatuhkan kekuasan yang sah. "Apa yang terjadi ke Gus Dur tak boleh berlaku lagi," kata Sinta.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebelumnya mengajukan permohonan kepada Pimpinan MPR untuk menerbitkan surat penegasan administratif bahwa Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban atau Pemberhentian Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah tidak berlaku lagi.
Surat itu diterima oleh MPR. MPR lantas mengeluarkan penegasan abgwa Tap MPR nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kedudukannya resmi tak berlaku lagi. Hal itu ditegaskan dalam Sidang Paripurna MPR pada Rabu 25 September 2024.
Surat dari fraksi PKB perihal kedudukan ketetapan MPR nomor 2/MPR 2001 tentang pertanggung jawaban presiden KH Abdurrahman Wahid. Berdasarkan kesepakatan rapat gabungan MPR dengan pimpinan fraksi kelompok DPD pada tanggal 23 September yang lalu, pimpinan MPR menegaskan ketetapan MPR Nomor 2/MPR 2001, tentang pertanggung jawaban Presiden Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi.
Pilihan editor: 271 Anggota DPR Terpilih Selesai Pembekalan Nilai Kebangsaan di Lemhanas