Polda Yogyakarta Terbitkan SP3 untuk Meila Nurul Fajriah, Direktur LBH Yogyakarta: Upaya Kriminalisasi Itu Menyakitkan
Reporter
Michelle Gabriela
Editor
S. Dian Andryanto
Rabu, 7 Agustus 2024 11:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Yogyakarta menerima Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan atau SP3 dari Polda Yogyakarta terhadap Meila Nurul Fajriah, advokat LBH Yogyakarta, pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Sebelumnya, Meila ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik saat menjadi pendamping hukum 30 korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berinisial IM.
Julian Duwi Prasetia Direktur LBH Yogyakarta mengungkapkan bahwa upaya kriminalisasi itu menyakitan, tidak hanya bagi pendamping yang dikenai kriminalisasi, tetapi juga bagi pendamping lainnya yang sedang melakukan upaya advokasi dan berdedikasi untuk mendampingi korban kekerasan seksual. “Ini juga menyakitkan bagi korban,” lata Julian kepada Tempo.co, pada Rabu 7 Agustus 2024.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam penanganan kekerasan seksual, korban harus didampingi dan diupaya pulih agar trauma yang terhadap kejadian tersebut tidak menyakiti mereka kembali.
“Adanya upaya kriminalisasi ini adalah bentuk pelemahan terhadap rasa keadilan bagi korban-korban kekerasan seksual,” lanjut Julian. Ia juga menekankan pentingnya mengecam tindak kriminalisasi yang diarahkan kepada pendamping korban maupun pejuang Hak Asasi Manusia.
“SP3 ini sekaligus kemenangan korban KS dan kemerdekaan korban untuk memilih saluran pelaporan dan jenis mekanisme pemulihan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi korban, sebagaimana dijamin dalam UU TPKS. Akhirnya diamini oleh Polda Yogyakarta,” tulis pengurus YLBHI dan LBH Yogyakarta dalam siaran pers, pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Kendati demikian, pemberhentian penyidikan oleh Polda Yogyakarta tidak menutup ruang untuk adanya upaya pra peradilan. “Perjuangan belum berakhir, kita harus bersiap andai ada gugatan pra peradilan,” ujarnya.
Terkait hal tersebut, Julian mengungkapkan bahwa pihaknya mengharapkan majelis hakim selaku representasi pengadilan dapat memiliki perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual menyikapi adanya ruang pra peradilan.
Selain itu, menurut Julian, adanya UU TPKS seharusnya dapat diakselerasi oleh Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya agar cepat mengadopsi perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
“Supaya setiap kasus kekerasan seksual maupun upaya gugatan balik di peradilan, majelis hakim sudah memiliki modal pemahaman terhadap penanganan kasus kekerasan seksual,” jelasnya.
Selain itu, Julian juga mengungkapkan bahwa akselerasi ini juga dapat didorong oleh masyarakat. Menurutnya, publik dapat mengirimkan amicus curiae yang ditunjukan pada Mahkamah Agung atau hakim yang sedang memeriksa suatu perkara.
“Solidaritas ini menjadi penting untuk menyamakan persepsi antara satu institusi dengan institusi lain terkait pemahaman dan kasus-kasus kekerasan seksual,” pungkas Julian.
Selanjutnya: Kilas Balik Kasus Kriminalisasi Meila
<!--more-->
Berdasarkan kronologi yang diberikan oleh LBH Yogyakarta, kasus ini bermula saat Meila dan LBH Yogyakarta melakukan pendampingan kepada 30 korban kekerasan seksual yang diduga kuat dilakukan oleh IM, pada 20220.
Sejak saat itu, Meila dan LBH Yogyakarta melakukan pemeriksaan fakta kepada para penyintas melalui pesan langsung whatsapp dan Instagram dan menemukan fakta dan pola KS yang diduga kuat dilakukan oleh IM.
Di saat yang bersamaan, beberapa korban juga melakukan laporan kepada UII. Rektor UII pun akhirnya menunjuk tim investigasi yang berujung pada pencabutan status mahasiswa berprestasi kepada IM. Kemudian IM menggugat pihak UII ke PTUN, tetapi gugatan itu tidak diterima.
Pasca kalahnya IM oleh UII, ia melaporkan Meila dan LBH Yogyakarta atas dugaan pencemaran nama baik. IM juga beberapa kali meminta mediasi dan akan mencabut laporan apabila LBH Yogyakarta membuka data pelapor dan korban meminta maaf.
IM melaporkan Meila dengan menyertakan barang bukti yang menurutnya relevan, salah satunya adalah konten YouTube yang diunggah di kanal LBH Yogyakarta. Barang bukti tersebut digunakan untuk mendukung tuduhan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh IM.
LBH Yogyakarta menolak tuntutan IM, hingga sekitar 2023, pihak Polda Yogyakarta menghubungi LBH Yogyakarta untuk menyampaikan bahwa IM melaporkan penyidik Polda ke PROPAM RI. Kemudian, ada desakan Polda Yogyakarta untuk segera melanjutkan kasusnya. Tetapi ini tidak juga berlanjut.
Baru pada Mei 2024, Polda Yogyakarta kembali menghubungi LBH Yogyakarta dan menyampaikan IM tetap mendesak mereka untuk menginvestigasi kasus dengan tuntutan pemulihan nama baik. Hingga akhirnya, pada 24 Juni 2024, Meila ditetapkan sebagai tersangka.
Pilihan Editor: Polda Yogyakarta Hentikan Penyidikan Meila Nurul Fajriah Pendamping 30 Korban Kekerasan Seksual