Istana Anggap Lumrah Sidang Mahkamah Rakyat yang Kuliti Dosa Jokowi
Reporter
Daniel A. Fajri
Editor
Imam Hamdi
Rabu, 26 Juni 2024 07:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Istana Kepresidenan menilai Mahkamah Rakyat Nawadosa Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai kritik yang lazim dalam demokrasi. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan dalam demokrasi yang sehat lumrah terjadi perbedaan pandangan, persepsi, dan penilaian terhadap kinerja pemerintah.
“Yang penting kita saling menghormati perbedaan pandangan yang ada,” kata Ari melalui pesan singkat kepada Tempo pada Selasa malam, 25 Juni 2024.
Mahkamah Rakyat Luar Biasa menggelar People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat untuk mengadili pemerintahan Jokowi di Wisma Makara Universitas Indonesia atau UI, Depok, Jawa Barat pada Selasa, 25 Juni 2024. Gugatan yang mereka adili disebut sebagai sembilan dosa atau “Nawadosa” rezim Jokowi.
Dosa Jokowi yang mereka singgung di antaranya soal perampasan ruang hidup, persekusi, korupsi, militerisme dan militerisasi, komersialisasi pendidikan, kejahatan kemanusiaan dan impunitas, sistem kerja yang memiskinkan, serta pembajakan legislasi.
Pemerintah, kata Ari, terbuka menerima kritik maupun dukungan terhadap jalannya pemerintahan. Namun, di sisi lain, kata Stafsus Jokowi ini, Presiden dan pemerintah mendapatkan apresiasi, dukungan, dan kepercayaan yang positif dari masyarakat, seperti survei Litbang Kompas.
Sigi Litbang Kompas yang diumumkan pada Kamis, 20 Juni 2024, menunjukkan peningkatan tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, dari angka 73,59 persen pada Desember 2023; menjadi 75,6 persen pada Juni 2024.
Stafsus Jokowi menilai kritik dapat menjadi masukan yang konstruktif untuk memperbaiki semua bidang pemerintahan.
Sebagai pihak tergugat, Presiden Jokowi tidak hadir dalam sidang Mahkamah Rakyat yang berlangsung selama lebih dari 8 jam kemarin. Putusan sidang dibacakan hari itu juga oleh Hakim Ketua Asfinawati. Asfinawati mengatakan persidangan Mahkamah Rakyat Luar Biasa menilai bahwa Jokowi telah melanggar sumpah jabatan yang dia ucap sebelum dilantik.
Kedua, Asfinawati berujar Majelis Hakim memutuskan bahwa Presiden Jokowi terbukti memundurkan demokrasi. Antara lain mengembalikan dwifungsi TNI-Polri, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi, serta memberlakukan kembali konsep domein verklaring dari masa kolonial. Konsep itu berarti tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dengan surat, otomatis akan menjadi tanah negara.
“Ketiga, tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban Presiden Republik Indonesia,” ucap Asfinawati. Serta keempat, bahwa Presiden Jokowi terbukti melakukan setidak-tidaknya pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara yang ada dalam pembukaan UUD 45, korupsi dalam arti luas atau terbukti melakukan perbuatan tercela.
DANIEL A. FAJRI | SULTAN ABDURRAHMAN
Pilihan editor: Ini Aturan untuk Syarat Ajukan Kenaikan Jabatan Jadi Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar