Pakar Nilai Usul Revisi UU Kementerian Negara Kontradiktif dan Sarat Politis
Reporter
Andi Adam Faturahman
Editor
Ninis Chairunnisa
Rabu, 8 Mei 2024 13:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah Pakar Hukum Tata Negara menyoroti usul Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara atau APHTN-HAN, ihwal revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Pakar Hukum Tata Negara, Herdiansyah Hamzah, mengatakan usulan tersebut inkonsistensi dengan sikap APHTN-HAN pada Konferensi Nasional ke-6 di Jakarta yang mengusulkan agar dilakukan evaluasi pembentukan kabinet. Salah satunya dengan mengurangi jumlah Kementerian yang ada.
Saat Konferensi Nasional di Jakarta, Herdiansyah mengatakan APHTN-HAN mengusulkan agar Kementerian Koordinator dihapus. Sebab, dari sudut pandang konstitusi dan Undang-Undang Kementerian Negara merupakan Kementerian yang sebenarnya tidak ada kewajiban untuk dibentuk.
“Jika usulannya menambah jumlah Kementerian, tentunya ini menjadi kontradiktif,” kata Herdiansyah saat dihubungi Tempo, Rabu, 8 Mei 2024.
Adapun Sekretaris Jenderal APHTN-HAN, Bayu Dwi Anggono, mengatakan usulan untuk merevisi Undang-Undang Kementerian Negara merupakan rekomendasi pengurus APHTN-HAN saat menghelat Konferensi Nasional di Batam. Rekomendasinya, APHTN-HAN diharapkan dapat berfokus pada upaya penyelesaian pelbagai masalah dalam proses pembentukkan kabinet presidensil di Indonesia, tidak hanya pada isu tata kelola penyelenggaraan pemilihan umum saja.
Dalam kajian tersebut, Bayu melanjutkan, APHTN-HAN juga mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Kementerian Negara. Sebab, urusan pemerintahan yang disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 belum semua diatur pada Undang-Undang tersebut. Misalnya, urusan pajak dan penerimaan negara, urusan jaminan sosial, urusan perbatasan dan pulau-pulau terluar, urusan perlindungan masyarakat hukum adat, maupun urusan pangan.
Belum diaturnya urusan tersebut, menurut Bayu, menyebabkan beberapa urusan yang terdapat di pemerintahan saat ini belum ada nomenklaturnya di kementerian. Apalagi Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur ihwal jumlah kementerian. Artinya, jumlah kementerian menjadi ranah pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya. "Kami rekomendasikan penambahan jumlah Kementerian antara 34 - 41," ujarnya.
Beberapa rekomendasi pembentukan kementerian baru, antara lain Kementerian Pangan Nasional; Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara; Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar; dan Kementerian Kebudayaan.
Herdiansyah Hamzah mempertanyakan alasan dasar dari usul APHTN-HAN ihwal penambahan jumlah Kementerian ini. Misalnya, ihwal Kementerian Perpajakan dan Kementerian Negara, hal ini tidak mesti dilakukan. Sebab, merupakan bagian integral dari Kementerian Keuangan. Apalagi, usul pembentukan Kementerian ini juga sempat dinyatakan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto apabila terpilih menjadi Presiden 2024-2029. “Pertanyaanya apakah ini kebetulan. Ini perlu dijelaskan,” kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, berpendapat serupa. Menurut dia, penambahan jumlah Kementerian yang masih merupakan bagian integral dari Kementerian yang ada saat ini tidak memiliki urgensi untuk direalisasikan. "Jadi tidak aneh jika ini dipandang sarat politis," kata Yance.
Usulan untuk menambah jumlah Kementerian dengan merujuk pada nomenklatur, Yance melanjutkan, mesti dilakukan secara empiris dan tidak melihat dari kacamata tekstual saja. Namun, juga melihat dari segi permasalahan riil yang dihadapi Kementerian hari ini.
Usulan menjadi sarat politis karena mencuat pada masa-masa perumusan kabinet pemerintahan baru, yaitu kabinet Prabowo-Gibran. Apalagi secara bentuk, kabinet Prabowo-Gibran berasal dari embrio koalisi gemuk yang berisikan banyak partai politik.
Masalahnya, dengan banyaknya partai politik yang mendukung. Maka akan semakin banyak kursi pos di pemerintahan yang diperlukan. “Tidak aneh jika ini nantinya dipandang berkelindan dengan konflik kepentingan penguasa,” ucap Yance.
Pilihan Editor: Hujan Kritik, Wacana Tambah Pos Kementerian di Kabinet Prabowo