Kisah Cut Nyak Dhien Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional 60 Tahun Lalu, Rakyat Aceh Menunggu 8 Tahun
Reporter
Myesha Fatina Rachman
Editor
Hisyam Luthfiana
Kamis, 2 Mei 2024 11:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah 60 tahun, Cut Nyak Dhien, pejuang perempuan dari Aceh ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional. Pada 2 Mei 1964, pahlawan yang dijuluki "Ibu Perbu" karena pemahamannya yang mendalam tentang agama Islam itu ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1964.
Penetapan Cut nyak Dhien sebagai pahlawan nasional tak lepas dari sosok Teuku Iskandar, seorang sejarawan dan budayawan Aceh. Ia mengajukan Cut nyak Dhien sebagai pahlawan nasional pada tahun 1956. Ada banyak latar belakang yang menjadi motivasi Teuku Iskandar mengusulkan Srikandi Aceh itu menjadi pahlawan nasional. Selain dikenal sebagai perempuan pejuang, kisah Cut Nyak Dhien menginspirasi rakyat Aceh dalam melawan penjajah.
Perlu 8 tahun bagi rakyat Aceh menunggu penetapan Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional. Proses dimulai dengan pengumpulan bukti-bukti perjuangan Cut Nyak Dhien, seperti surat, catatan sejarah, hingga kesaksian orang yang mengenalnya. Berbagai dokumen persyaratan itu, kemudian diserahkan kepada Tim Verifikasi dan Evaluasi Pahlawan Nasional yang dibentuk pemerintah.
Penetapan ini menambah daftar sosok perempuan Indonesia yang menjadi pahlawan nasional. Seperti diketahui, Indonesia telah menetapkan ratusan orang sebagai pahlawan nasional. Dari sekiat banyak jumlahnya, perempuan yang ditetapkan jadi pahlawan nasional berjumlah 17 orang.
Dilansir dari Ensiklopedia Pahlawan Nasional, Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Semasa kecil, Cut Nyak Dhien dikenal sebagai gadis yang cantik. Kecantikan itu semakin lengkap dengan pintarya Cut Nyak Dhien dalam bidang pendidikan agama.
Pada tahun 1863, saat itu Cut Nyak Dhien berusia 12 tahun, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat, Uleebalang Lam Nga XIII. Suaminya adalah pemuda yang wawasannya luas dan taat agama. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar menikah dan memiliki buah hati seorang laki-laki.
Dilansir dari Arsip Media Kearsipan Nasional: Nilai-nilai Kepahlawanan, sejarah Aceh mencatat Teuku Ibrahim melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Teuku Ibrahim kerap meninggalkan Cut Nyak Dhien dan anak-anaknya demi misi mulia melawan kolonialisme Belanda. Beberapa bulan setelah meninggalkan Lam Padang, Teuku Ibrahim kembali mencari perlindungan di lokasi yang aman. Atas panggilan suaminya, Cut Nyak Dhien dan warga lainnya meninggalkan kawasan Lam Padang pada 29 Desember 1875.
Pada 26 Maret 1873, Belanda berperang dengan Aceh. Tentara Belanda memimpin Armada Benteng Antwerpen dan mulai menembakkan meriam ke daratan Aceh. Selanjutnya pada 8 April 1873, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Köhler berhasil mendarat di pesisir pantai Ceureumen dan langsung menyerbu serta membakar Masjid Baiturrahman di Aceh.
Tindakan Belanda selanjutnya berujung pada Perang Aceh melawan kurang lebih 3.198 tentara Belanda yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah dan Panglima Polim. Namun ketika Köhler tertembak dan terbunuh, Kesultanan Aceh mampu memenangkan perang pertamanya dengan Belanda.
Antara tahun 1874 dan 1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten,wilayah VI Mukim sekaligus Keraton Sultan berhasil diduduki oleh tentara Belanda, namun pada akhirnya berhasil dikalahkan oleh kekuatan besar negara kolonial Belanda.
Peristiwa ini memaksa Cut Nyak Dhien dan bayinya mengungsi bersama warga dan kelompok lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Namun Teuku Ibrahim tetap bertekad merebut kembali wilayah VI Mukim. Sayangnya, Teuku Ibrahim meninggal pada tanggal 29 Juni 1878 saat pertempuran di Gure Tarum. Hal ini akhirnya membuat Cat Nyak Dhien sangat marah hingga bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yaitu Cut Gambang. Setelah menikah, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Pada saat itu usia Cut Nyak Dhien sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun serta jumlah pasukannya terus berkurang, ditambah mereka sulit memperoleh makanan. membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.
Setelah enam tahun bergerilya, ia akhirnya tertangkap Belanda. Kemudian Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat pada 1906 bersama tahanan politik lainnya. Cut Nyak Dhien lalu dijuluki sebagai "Ratu Aceh" karena tekadnya yang kuat dalam melawan kolonial Belanda di Aceh.
Pilihan Editor: Sha Ine Febriyanti Hidupkan Cut Nyak Dhien