Rapat Permusyawaratan Hakim MK untuk Sengketa Pilpres 2024 Digelar Maraton

Rabu, 17 April 2024 09:30 WIB

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono saat ditemui di Gedung MK I, Jakarta Pusat pada Selasa, 16 April 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK mulai menggelar rapat permusyawaratan hakim alias RPH untuk sengketa hasil Pilpres, setelah penyerahan kesimpulan kemarin.

"Mulai hari ini diagendakan RPH terus setiap hari secara maraton," kata Juru bicara MK Fajar Laksono saat ditemui di Gedung MK I, Jakarta Pusat pada Selasa malam, 16 April 2024.

Dia menuturkan, RPH dilakukan mulai 16 hingga 21 April 2024 secara tatap muka. Kedelapan hakim konstitusi akan membahas soal sengketa hasil Pilpres di lantai 16 Gedung MK.

Seperti diketahui, hanya delapan dari sembilan hakim konstitusi yang boleh menangani perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU Pilpres. Mantan Ketua MK Anwar Usman telah dijatuhi sanksi sehingga tak berwenang menangani sengketa hasil Pilpres.

Adapun putusan PHPU Pilpres akan dibacakan sehari kemudian atau 22 April mendatang. Rencananya, putusan akan dibacakan pukul 10.00 WIB.

Advertising
Advertising

Fajar melanjutkan, rapat permusyawaratan hakim dilakukan secara tertutup. Bahkan, dirinya saja tidak mengetahui agenda apa yang dibahas dalam RPH tersebut.

"Bahkan handphone itu enggak boleh dibawa ketika RPH, baik hakim atau pegawai," ujar Fajar.

Dia menuturkan, para pegawai MK yang bertugas dalam RPH juga telah disumpah. Sebab, apa pun yang berada di dalam ruang rapat itu bersifat rahasia.

"Jadi saya kira, ekosistem independensi sejauh ini terjaga. RPH, RPH kami jaga juga," ucap Fajar.

MK telah merampungkan sidang sengketa hasil Pilpres pada Jumat, 5 April lalu. Saat itu, hadir keempat menteri Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu alias DKPP untuk memberikan keterangan.

Keempat menteri itu adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.

Pada Selasa kemarin, 16 April 2024, para pihak dalam perkara PHPU Pilpres telah menyerahkan kesimpulan sidang kepada Panitera MK. Para pihak itu adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar selaku pemohon I, Ganjar Pranowo-Mahfud Md. selaku pemohon II, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selaku pihak terkait, Komisi Pemilihan Umum atau KPU sebagai termohon, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu sebagai pemberi keterangan.

Dalam penyerahan kesimpulan tersebut, kubu Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, Prabowo-Gibran, dan Bawaslu diwakili oleh tim hukum mereka masing-masing. Sedangkan KPU diwakili Anggota Komisioner Mochammad Afifuddin yang memimpin Divisi Hukum dan Pengawasan.

Pilihan Editor: Ganjar Sebut Amicus Curiae Megawati Bisa Dorong MK Putuskan Perkara dengan Adil

Catatan Redaksi:

Berita ini telah mengalami koreksi pada Rabu, 17 April 2024 pukul 10.46 WIB

Sebelumnya di judul tertulis: Hari Ini Rapat Permusyawaratan Hakim MK untuk Sengketa Pilpres Digelar.

Terdapat kesalahan pada kata Hari Ini di judul. Demikian koreksi ini dibuat.

Berita terkait

Kuasa Hukum KPU Disebut Jadi Ahli Anwar Usman di PTUN, Perludem Sebut Ada Potensi Konflik Kepentingan

15 jam lalu

Kuasa Hukum KPU Disebut Jadi Ahli Anwar Usman di PTUN, Perludem Sebut Ada Potensi Konflik Kepentingan

Perludem menyebut ada potensi konflik kepentingan karena kuasa hukum KPU disebut menjadi ahli yang dihadirkan eks Ketua MK Anwar Usman di PTUN.

Baca Selengkapnya

207 Perkara Sengketa Pileg di MK Berpotensi Tidak Diteruskan

17 jam lalu

207 Perkara Sengketa Pileg di MK Berpotensi Tidak Diteruskan

Sebanyak 207 perkara sengketa pileg di MK berpotensi tidak dilanjutkan. Apa sebabnya?

Baca Selengkapnya

Babak-Belur Mahkamah Konstitusi

1 hari lalu

Babak-Belur Mahkamah Konstitusi

Demokrasi Indonesia makin terancam. Kali ini lewat revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Baca Selengkapnya

3 RUU dalam Sorotan Publik: RUU Penyiaran, RUU MK, dan RUU Kementerian Negara

2 hari lalu

3 RUU dalam Sorotan Publik: RUU Penyiaran, RUU MK, dan RUU Kementerian Negara

Dalam waktu berdekatan tiga RUU DPR mendapat sorotan publik yaitu RUU Penyiaran, RUU MK, dan RUU Kementerian Negara. Apa sebabnya?

Baca Selengkapnya

Wahiddudin Adams Minta Hakim Konstitusi Tak Takut Jika Revisi UU MK Benar Disahkan

4 hari lalu

Wahiddudin Adams Minta Hakim Konstitusi Tak Takut Jika Revisi UU MK Benar Disahkan

Wahiduddin Adams meminta hakim MK tak takut jika perubahan keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, benar-benar disahkan DPR.

Baca Selengkapnya

Ketua MKMK Heran Revisi UU MK Selalu Utak-atik Syarat Umur hingga Jabatan Hakim

4 hari lalu

Ketua MKMK Heran Revisi UU MK Selalu Utak-atik Syarat Umur hingga Jabatan Hakim

Palguna heran mengapa setiap revisi UU MK yang dipermasalahkan adalah persoalan yang tak ada relevansinya dengan penguatan MK sebagai peradilan yang berwibawa dan merdeka.

Baca Selengkapnya

Hamdan Zoelva Nilai Revisi UU MK Jadi Ancaman Bagi Eksistensi Indonesia sebagai Negara Hukum

4 hari lalu

Hamdan Zoelva Nilai Revisi UU MK Jadi Ancaman Bagi Eksistensi Indonesia sebagai Negara Hukum

Revisi UU MK tak hanya menjadi ancaman bagi independensi lembaga peradilan, namun ancaman yang sangat serius bagi Indonesia sebagai negara hukum.

Baca Selengkapnya

Reaksi Internal MK dan Ketua MKMK soal Revisi UU MK Bergulir di DPR

4 hari lalu

Reaksi Internal MK dan Ketua MKMK soal Revisi UU MK Bergulir di DPR

Pembahasan revisi UU MK antara pemerintah dan DPR menuai reaksi dari kalangan internal MK dan Ketua MKMK. Apa reaksi mereka?

Baca Selengkapnya

MK Batasi 6 Saksi dan Ahli di Sidang Sengketa Pileg, Apa Alasannya?

4 hari lalu

MK Batasi 6 Saksi dan Ahli di Sidang Sengketa Pileg, Apa Alasannya?

MK hanya membolehkan para pihak menghadirkan lima orang saksi dan satu ahli dalam sidang sengketa pileg.

Baca Selengkapnya

Suap demi Predikat WTP dari BPK

4 hari lalu

Suap demi Predikat WTP dari BPK

Suap demi mendapatkan predikat WTP dari BPK masih terus terjadi. Praktik lancung itu dinilai terjadi karena kewenangan besar milik BPK.

Baca Selengkapnya