Mahfud MD, Bambang Widjojanto, Yusril Ihza, Hakim MK Aswanto Pernah Sebut MK Jangan Jadi Mahkamah Kalkulator, Ini Artinya
Reporter
Rachel Farahdiba Regar
Editor
S. Dian Andryanto
Jumat, 22 Maret 2024 14:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mahfud Md menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) bukan lagi “Mahkamah Kalkulator” dalam menjalankan persidangan perkara.
“Di dalam pengalaman kita, sudah berkali-kali menjadikan MK itu bukan lagi Mahkamah Kalkulator. Saya kira putusan tahun 2008 yang pertama itu adalah yang kita tahu MK bukan Mahkamah Kalkulator,” kata Mahfud, pada 21 Maret 2024.
Mahfud menunjukkan bukti bahwa MK bukan “Mahkamah Kalkulator”. Ia menyatakan bahwa terdapat istilah TSM yang memiliki arti terstruktur, sistematis, dan masif dalam sistem hukum nasional saat ini. Istilah ini yang menunjukkan MK bukan sekadar “Mahkamah Kalkulator”.
“Sampai sekarang istilah TSM itu sendiri masuk dalam hukum kita. Dulu itu tidak ada. Artinya, MK bukan sekadar Mahkamah Kalkulator,” ujar Mahfud MD, seperti diberitakan Antara.
Pada Pilpres 2019, istilah “Mahkamah Kalkulator” juga disinggung oleh Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto (BW). Ia mendorong agar MK tidak menjadi “Mahkamah Kalkulator” saat menangani gugatan hasil Pilpres 2019.
Mengacu mkri.id, BW dan pihaknya memohon kepada MK agar menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/V/2019 tentang hasil Pilpres 2019. Ia berharap agar kedudukan dan marwah MK menjadi Mahkamah Keadilan dan Mahkamah Kebaikan yang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu dengan keputusan berkeadilan.
BW juga menuliskan bahwa MK bukan menjadi “Mahkamah Kalkulator” yang berfungsi sebagai penghitung suara suatu sengketa pemilu semata, bukan “Mahkamah Kiamat” bagi pihak yang dikalahkan, dan bukan “Mahkamah Kezaliman” untuk menganiaya pencari keadilan.
Yusril Ihza Mahendra saat menjadi saksi ahli dari tim Prabowo-Hatta, pernah menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai mahkamah kalkulator. Ahli hukum tata negara ini menuding mahkamah hanya menghitung hasil pemilu presiden tanpa menyentuh persoalan prosedur. "Sudah saatnya dalam menjalankan kewenangannya Mahkamah Konstitusi melangkah ke hal lebih substansial, khususnya dalam kasus perselisihan hasil pemilihan pilpres," ujar Yusril di ruang rapat pleno Mahkamah Konstitusi, Jumat, 15 Agustus 2014.
MK bukan “Mahkamah Kalkulator” juga pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua MK, Aswanto. Menurut Aswanto, jika melihat fakta yang berkembang di MK dalam kaitannya dengan penanganan sengketa pilkada, mahkamah tidak hanya merujuk pada angka-angka dalam bukti yang dibawa semua pihak berperkara.
Mahkamah juga akan menelisik angka-angka yang tertera dalam bukti tersebut. MK berusaha tidak menjadi stempel dari hasil yang diputus oleh penyelenggara pemilu. MK berkehendak dan berusaha memberikan keadilan yang substantif, terutama dalam penanganan sengketa hasil pilkada atau pemilu.
Arti “Mahkamah Kalkulator”
MK kerap disebut sebagai “Mahkamah Kalkulator” karena memutuskan perkara hasil pilkada atau pemilu hanya dari angka-angka yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berdasarkan Pasal 24 C ayat (4) UUD 1945, MK berwenang menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilu. Namun, ketentuan dasar kewenangan tersebut tidak memberikan pembahasan yang jelas terkait perselisihan hasil pemilu. Lalu, dalam Pasal 77 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK tertulis, perselisihan hasil pemilu diartikan secara sempit, yaitu hanya sebagai perselisihan hasil pemilu yang ditetapkan secara nasional oleh KPU.
Mengacu publikasi ilmiah dalam journal.uii.ac.id, pemaknaan hasil pemilu membuat MK “tersandera” menjalankan tugas sebagai penjaga demokrasi. Implikasi dari aturan tersebut juga membuat MK disebut sebagai “Mahkamah Kalkulator”. Sebab, dalam menyelesaikan sengketa perselisihan hasil Pemilu, MK hanya dibatasi untuk menilai benar atau tidaknya penghitungan suara secara nasional oleh KPU yang tidak lebih dari itu.
MK tidak menimbang bukti lain di luar penghitungan suara nasional KPU. Namun, saat ini, beberapa pihak mulai menegaskan MK tidak lagi menjadi “Mahkamah Kalkulator” karena sudah memiliki sifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam sistem hukum.
Pilihan Editor: Dugaan TSM Pemilu 2024, Penjelasan UIN Suska Riau: Soal terstruktur, Sistematis, dan Masif