Seruan Terbuka untuk Pratikno dan Ari Dwipayana, Fisipol UGM: Kami Kecewa, Kembalilah ke Demokrasi

Senin, 12 Februari 2024 11:38 WIB

Dosen dan mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta menggelar aksi seruan menyoroti dua almamaternya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Koordinator Staf Khusus Presiden RI Ari Dwipayana di halaman Fisipol UGM Senin 12 Februari 2024. Tempo/Pribadi Wicaksono

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah dosen dan mahasiswa dari Departemen Politik Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta menggelar aksi seruan menyoroti dua almamaternya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Koordinator Staf Khusus Presiden RI Ari Dwipayana di halaman Fisipol UGM Senin 12 Februari 2024.

Dalam aksi itu, sivitas Fisipol UGM menyoroti kondisi demokrasi hari ini dan perilaku politik jelang Pemilu 2024 yang sudah sangat jauh dari etika intelektual.

Hal ini mereka lakukan karena sangat berhubungan dengan praktik yang dilakukan Pratikno dan Dwipayana, dosen mereka sendiri, yang kini menjadi anak buah Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"Pak Pratikno dan Mas Ari Dwipayana, guru-guru kami di Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM, kami menuliskan surat ini untuk menyampaikan rasa cinta sekaligus kecewa," kata perwakilan mahasiswa Fisipol UGM, Rubiansyah.

Ia mengatakan para mahasiswa merasa baru kemarin mendengar ceramah Pratikno dan Ari mengenai demokrasi. "Kami diyakinkan bahwa demokrasi merupakan sebuah berkah yang harus kita jaga selalu keberlangsungannya," kata dia.

Advertising
Advertising

"Bagaimana tidak? Indonesia telah bertransformasi dari salah satu simbol otoritarianisme terbesar di dunia menjadi salah satu negara demokrasi paling dinamis di
Asia," ujarnya.

Menurut Rubiansyah, transisi ini ditandai oleh beberapa hal, mulai dari penarikan angkatan bersenjata dari politik liberalisasi sistem kepartaian, pemilu yang jurdil, kebebasan berbicara, kebebasan pers, serta hal-hal lainnya.

Semua itu tidaklah mudah dilakukan di negara dengan masyarakat
majemuk, yang pada saat itu sedang berjuang untuk pulih dari dampak krisis keuangan.

Karena itu, semuanya sangat patut kita syukuri. Namun, sayangnya, lebih dari 20 tahun sejak datangnya berkah tersebut, demokrasi Indonesia justru mengalami kemunduran.

"Melihat situasi perpolitikan Indonesia saat ini, rasanya kami semakin resah, sama seperti Mas Ari yang khawatir dengan harga tinggi demokrasi atau seperti Pak Tik yang resah dengan otoritarianisme Orde Baru seperti disampaikan dalam beberapa
tulisan di masa lalu," kata dia.

Selanjutnya mereka mengungkapkan alasan keresahan...

<!--more-->

Mereka pun mengatakan keresahan ini terjadi karena sejak 2019 mereka telah turun ke jalan untuk memprotes banyak hal yang mengancam demokrasi.

"Ada revisi UU KPK, terbitnya UU Ciptakerja, revisi UU ITE, dan lainnya. Justru hari ini, di tengah perhelatan Pemilu 2024, kita menyaksikan demokrasi sedang menuju ambang kematiannya," kata dia.

Menurutnya, di bawah Jokowi, rakyat disuguhi serangkaian tindakan pengangkangan etik dan penghancuran pagar-pagar demokrasi yang dilakukan oleh kekuasaan. Para penguasa dengan tidak malu menunjukkan praktik-praktik korup demi langgengnya kekuasaan.

"Konstitusi dibajak untuk melegalkan kepentingan pribadi dan golongannya. Melihat ini semua, rasanya demokrasi Indonesia bukan hanya sekedar mundur atau pun cacat, tetapi sedang sekarat," kata dia.

Rubiansyah mengatakan, kekuasaan telah merusak pagar yang menjaga agar demokrasi tetap hidup dan terus dapat dirayakan.

"Jika pada akhirnya demokrasi kita, demokrasi milik rakyat Indonesia ini, mati, maka sejarah akan mengingat siapa saja pembunuhnya," imbuh dia.

Untuk itu, kata Rubiansyah, menjadi keharusan bagi seluruh pihak untuk menyadarkan kekuasaan atas perbuatannya.

"Tolong bantu kami mengingat, bukankah peran yang Pak Tik dan Mas Ari ambil dalam pusaran kekuasaan adalah suatu bentuk upaya untuk menjawab tantangan tersebut? Ijinkan kami kaitkan hal itu dengan pelajaran yang pernah kami dapat di DPP Fisipol," kata dia.

Antonio Gramsci, pemikir yang sangat sering dikutip oleh Mas Ari, kata dia, membedakan kaum intelektual menjadi dua jenis intelektual tradisional dan intelektual organik.

Sedangkan intelektual tradisional adalah sekelompok intelektual yang membantu melegitimasi kekuasaan kelas penguasa. Para intelektual tradisional ini menjadi alat para penguasa dalam mengokohkan konsolidasi mereka atas kekuasaan.

Dan dalam konteks saat ini, intelektual hanya menjadi instrumen penjustifikasi bagi penguasa dalam melegitimasi kebijakan yang cenderung mendorong kemunduran demokrasi.

Intelektual organik, kata dia, didefinisikan Gramsci sebagai intelektual yang kritis pada kekuasaan, berpikir bebas, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.

Intelektual organik memang bisa menjadi ancaman utama terhadap ambisi-ambisi licik kelas penguasa. Mereka mampu meriyadari segala niat busuk penguasa yang berlindung dibalik diksi stabilitas, yang sejatinya bermakna stabilitas bagi upaya konsolidasi kekuasaan yang semena-mena.

Di luar klasifikasi biner ala Gramsci, terdapat satu jalur alternatif bagi para intelektual yang oleh guru kami yang lain, koleganya Pak Tik dan gurunya Mas Ari, yakni Mas Cornelis Lay atau Conny disebut sebagai intelektual jalan ketiga.

Jalur alternatif ini adalah jawaban dari peran yang dilematis bagi para intelektual untuk menjadi bagian dari kekuasaan, atau menjauhinya atas dasar nilai kemanusiaan.

Poin utamanya adalah bagaimana para intelektual bisa bersahabat dengan kekuasaan tetapi tetap membawa nilai dasar intelektual, demi kepentingan pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.

"Pemerintahan saat ini jelas berada dalam upaya melanggengkan kekuasaan, terbilang tidakanti-intelektual dan malah mendegradasi intelektualisme, tetapi justru disokong oleh banyak intelektual sebagai instrumen stempel dan pihak justifikasi kebijakan penguasa," kata dia.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Cornelis Lay mengungkap dosa terbesar kaum intelektual tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang
dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya.

"Jalur intelektual jalan ketiga ini bagi kami adalah jalur yang ideal bagi para akademisi yang memutuskan untuk mengambil peran dalam kekuasaan tanpa mengkhianati nilai-nilai prinsipal yang dipegang," kata dia

Jalur itulah yang seharusnya diyakini dengan teguh oleh setiap akademisi, saat mereka memberanikan diri naik ke panggung kekuasaan.

"Sebagai pembelajar ilmu politik sekaligus murid-muridnya Pak Tik dan Mas Ari, kami menyadari bahwa segala permasalahan terkait kemerosotan demokrasi adalah permasalahan sistemik yang disebabkan oleh banyak aktor," katanya.

Surat itu pun mengatakan bahwa ini bukan kesalahan Pratik dan Ari semata. "Namun, biar bagaimana pun kami menyadari, dua guru kami telah menjadi bagian dari persoalan bangsa. Untuk itu, ijinkan kami mewakili Pak Tik dan Mas Ari menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas hal itu,"

Rubiansyah mengatakan, bagi mereka Pratikno dan Ari Dwipayana adalah guru, rekan, sahabat, kerabat, dan bapak.

"Hari ini kami berseru bersama: kembalilah pulang. Kembalilah membersamai yang tertinggal, yang tertindas, yang tersingkirkan. Kembalilah ke demokrasi; dan kembalilah mengajarkannya kepada kami, satunya kata dan perbuatan," ujar dia.

Pilihan Editor: Rencana Jadwal Pilpres 2024 Jika Berlangsung Dua Putaran

Berita terkait

Profil Hanta Yuda, Pendiri dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia

4 jam lalu

Profil Hanta Yuda, Pendiri dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia

Poltracking mendapat sanksi dari Dewan Etik Persepsi ihwal surveinya tentang tingkat elektabilitas Pilgub Jakarta. Berikut profil pendiri Poltracking.

Baca Selengkapnya

Alur Dugaan Plagiarisme Dosen Sejarah UGM

22 jam lalu

Alur Dugaan Plagiarisme Dosen Sejarah UGM

Akun @_bje milik Bernando J. Sujibto menyebut dugaan plagiarisme terhadap buku Kuasa Ramalan karya Peter Carey (KPG, 2012).

Baca Selengkapnya

Gaya Prabowo dan Jokowi Berkali Tunjukkan Diplomasi Meja Makan, Kenapa?

22 jam lalu

Gaya Prabowo dan Jokowi Berkali Tunjukkan Diplomasi Meja Makan, Kenapa?

Prabowo dan Jokowi mengobrol sambil santap malam di Angkringan Omah Semar di Solo. Berikut sederet agenda diplomasi meja makan Jokowi-Prabowo.

Baca Selengkapnya

Tanggapan Penerbit KPG Atas Dugaan Plagiarisme Dosen Sejarah UGM

1 hari lalu

Tanggapan Penerbit KPG Atas Dugaan Plagiarisme Dosen Sejarah UGM

Penerbit KPG menanggapi dugaan plagiarisme dosen sejarah UGM terhadap buku Peter Carey berjudul Kuasa Ramalan.

Baca Selengkapnya

UGM Bentuk Tim Usut Dugaan Plagiarisme Dosen Sejarah FIB

1 hari lalu

UGM Bentuk Tim Usut Dugaan Plagiarisme Dosen Sejarah FIB

Pembentukan tim ini menanggapi tuduhan plagiarisme terhadap dosen Departemen Sejarah FIB UGM Sri Margana dan kawan-kawan.

Baca Selengkapnya

Serius Santai ala Mega

1 hari lalu

Serius Santai ala Mega

Megawati Soekarnoputri menyampaikan pesan penting untuk generasi muda dengan cara yang berbeda. Santai, sesekali berseloroh, namun memuat hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca Selengkapnya

Tom Lembong Ditahan Kejagung, Rencana Anies Mau Pamer Tempat Favorit di Jogja Buyar

2 hari lalu

Tom Lembong Ditahan Kejagung, Rencana Anies Mau Pamer Tempat Favorit di Jogja Buyar

Sebelum Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Kejaksaan Agung, Anies berencana memamerkan tempat favoritnya di Yogyakarta.

Baca Selengkapnya

Guru Besar UGM Beri Saran Prabowo Soal Target Swasembada Pangan

3 hari lalu

Guru Besar UGM Beri Saran Prabowo Soal Target Swasembada Pangan

Prabowo menargetkan pencapaian swasembada pangan dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun mendatang, begini kata Guru Besar UGM.

Baca Selengkapnya

5 Serba-serbi Setan Alas: Film Horor Karya Kolaboratif Sekolah Vokasi UGM

3 hari lalu

5 Serba-serbi Setan Alas: Film Horor Karya Kolaboratif Sekolah Vokasi UGM

Film Setan Alas hasil kolaborasi antarfakultas, yang juga melibatkan siswa dari berbagai SMK

Baca Selengkapnya

Legislator PDIP ke Mendagri Tito Karnavian: Pemilu 2024 Paling Brutal, Cawe-cawe Dianggap Normal

4 hari lalu

Legislator PDIP ke Mendagri Tito Karnavian: Pemilu 2024 Paling Brutal, Cawe-cawe Dianggap Normal

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Deddy Sitorus, di depan Tito Karnavian menyebut Pemilu 2024 sebagai Pemilu paling brutal sepanjang sejarah.

Baca Selengkapnya