Muncul Tandingan Petisi Bulaksumur UGM dan Tuduhan Partisan, Gielbran M. Noor: Pengkerdilan Intelektualitas
Reporter
Rachel Farahdiba Regar
Editor
S. Dian Andryanto
Jumat, 9 Februari 2024 17:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Universitas Gadjah Mada atau UGM memulai petisi yang mengingatkan kepada salah satu alumnus, Jokowi untuk kembali dalam marwah demokrasi Pancasila. Peringatan tersebut dibacakan dalam Petisi Bulaksumur oleh guru besar dan sivitas akademika yang diikuti beberapa kampus Indonesia lain.
Kritik yang dilakukan guru besar dan sivitas akademika kampus di Indonesia dinilai sebagai gerakan partisan. Menyikapi pernyataan ini, Ketua BEM UGM 2023, Gielbran M. Noor menyebutnya sebagai pengkerdilan intelektualitas.
Menurut Gielbran, kelompok yang menyebut petisi dari guru besar dan sivitas akademika kampus di Indonesia sebagai partisan merupakan wujud pengkerdilan terhadap intelektualitas guru besar. Padahal, guru besar memiliki andil dan kontribusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan.
“Statement seperti itulah (petisi dari guru besar kampus sebagai partisan) yang mengkerdilkan ilmu pengetahuan. Kalau orang yang berilmu pengetahuan mengingatkan dianggap sebagai sebuah ria, dianggap sebagai sebuah gerakan partisan," kata Gielbran kepada Tempo.co, pada Jumat 9 Februari 2024.
"Lantas, ilmu atau pengetahuan seperti apa yang dipercaya oleh orang-orang yang menyebut mereka partisan? Jangan-jangan mereka yang tidak percaya dengan ilmu pengetahuan. Jadi, saya rasa itu wujud penghinaan dan wujud kebutaan terhadap fakta,” kata dia.
Setelah petisi tersebut, kelompok akademis lain muncul menyuarakan deklarasi “tandingan” dari kritik Jokowi dengan menyebut demokrasi Indonesia sehat. Kelompok akademisi yang mengatasnamakan sebagai alumni dan sivitas akademika kampus negeri dan swasta se-Indonesia menyatakan demokrasi baik-baik saja menjelang Pemilu 2024.
Gielbran menanggapi bahwa deklarasi tersebut boleh saja dilakukan, asalkan memiliki basis data. Saat ini, demokrasi Indonesia tentu tidak sehat dengan berbagai macam bukti yang ada. Bahkan, ia pernah mengalami wujud dari demokrasi yang tidak sehat dalam bentuk intimidasi. Selain itu, beberapa guru besar yang menyampaikan petisi kritik Jokowi pun pernah mengalaminya.
“Jadi saya rasa, misalnya ada deklarasi monggo itu hak masing-masing individu untuk berpendapat, asalkan harus berdasarkan data yang faktual dan aktual,” kata dia.
Gielbran M. Noor melihat, demokrasi Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Demokrasi semakin mengalami kemerosotan, terutama ketika adanya mobilisasi aparat untuk meminta para rektor memberikan tanggapan positif terhadap pemerintahan Jokowi. Tindakan ini menjadi wujud penunggangan kepentingan atas intelektualitas.
“Itu kan wujud penunggangan kepentingan atas intelektualitas. Justru mereka (kelompok akademisi ‘tandingan’ kritik Jokowi) yang saya anggap partisan. Mereka memberikan statement atas kinerja suatu rezim hanya karena didesak atau didorong kepentingan tertentu dalam hal ini oleh aparat. Saya rasa itu wujud nyata demokrasi telah diperdaya,” ujarnya.
Sebagai presiden, Jokowi seharusnya menjaga dan membuat kondusifitas demokrasi Indonesia meningkat. Sebab, itu merupakan salah satu tugas dan kewajiban Jokowi sebagai Presiden Indonesia.
“Harusnya, Pak Jokowi bisa melihat kekurangan atau masukan dari berbagai macam pihak terkait proses demokrasi Indonesia saat ini. Alih-alih berfokus pada masukan yang positif, tetapi ia juga harus balance dengan kritik negatif. Selama masukan yang digunakan untuk mengkritik demokrasi di era Jokowi itu baik serta datanya valid, aktual, dan faktual, itu menjadi wujud kebebasan berpendapat,” kata eks Ketua BEM UGM ini.
Pilihan Editor: Petisi Bulaksumur Disebut Partisan, Prof Koentjoro: Saya Marah Besar, Ada 250 Guru Besar UGM Terlibat dalam Diskusi Ini