Sivitas Akademika Ramai-ramai "Jewer" Jokowi, Bantah Tudingan Ditunggangi Kepentingan Politik
Reporter
Putri Safira Pitaloka
Editor
Hisyam Luthfiana
Minggu, 4 Februari 2024 09:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti membantah tudingan jika gelombang kritik dari sivitas akademika berbagai kampus ditunggangi politisi yang berseberangan dengan pemerintah.
“Itu jauh dari kepentingan-kepentingan politik. Tidak ada, tidak ada satu pun, tidak ada, tidak pernah terbesit dalam pikiran guru besar di Unpad ini bahwa kami melakukan seruan ini untuk kepentingan politik tertentu. Tidak pernah terpikir sedikit pun,” kata Susi kepada Tempo, Sabtu, 3 Januari 2024.
Susi menegaskan tujuan diadakannya aksi seruan tersebut untuk melaksanakan tanggung jawab moral dari kaum intelektual. Ia berpendapat bahwa sebagai cendekiawan, para akademisi kampus harus bersuara, terlebih ketika melihat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang sudah tidak berlandaskan asas, prinsip, etika, dan moral.
“Nah, kamilah penyeru itu. Kalau menyerukan hal itu berdasarkan keyakinan akademik kami, kemudian kami dituduh ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu, maka saya sepakat dengan Prof Harkristuti, itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang sangat menghina guru-guru besar. Sangat menghina universitas,” ungkap Susi.
Selain dosen dan guru besar, Susi berharap mahasiswa selalu menjadi garda terdepan untuk melakukan dobrakan, terutama di masa darurat demokrasi seperti saat ini. Menurutnya, lazim jika mahasiswa akan kembali menuntut apabila setelah berbagai seruan ini, pemerintahan tak kunjung membaik.
“Ketika mahasiswa turun ke jalan, maka artinya mereka sudah mulai beraksi dan mereka tidak puas terhadap perbaikan-perbaikan atau respons-respons yang disampaikan oleh para penguasa. Kita lihat saja nanti,” kata Susi.
Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Harkristuti Harkrisnowo juga membantah jika seruan dari berbagai kampus ditunggangi politisi. Ia menyebut tuduhan itu sebagai insulting question. “Itu adalah sebuah pertanyaan yang sangat menghina, sangat menyinggung perasaan-perasaan guru besar,” kata Susi.
Susi bersama para dosen, guru besar, alumni, dan mahasiswa dari berbagai lapisan Unpad bersatu dalam aksi "Seruan Padjadjaran" di kampus Unpad, di Jalan Dipatiukur, Bandung, Sabtu pagi, 3 Februari 2024.
Sebelumnya, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menanggapi kritik yang muncul dari sejumlah kampus terhadap Presiden Joko Widodo. Ia menyebut bahwa ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral.
“Strategi politik partisan seperti itu juga sah-sah saja dalam ruang kontestasi politik,” kata Ari dalam pesan singkat pada Jumat, 2 Februari 2024.
Meskipun demikian, Ari menekankan pentingnya membangun kontestasi politik, termasuk pertarungan opini, dalam suasana kultur dialog yang substantif dan perdebatan yang sehat.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto juga menyebutkan bahwa petisi yang diajukan oleh sejumlah akademisi dari berbagai universitas kepada pemerintah sebenarnya merupakan bentuk kritik dari tokoh-tokoh tertentu yang menggunakan identitas kampus. "Itu kan tokoh yang memakai (nama) kampus," kata Airlangga sebagaimana dikutip dari Antara.
Saat ini, pemerintah sedang dikritik sejumlah sivitas akademika dan guru besar dari berbagai universitas di Indonesia. Kritik makin marak menjelang dilaksanakannya pilpres 2024. Kritik itu datang antara lain dari kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), hingga Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI), dan sivitas akademika Universitas Padjadjaran (Unpad).
Sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa membuat petisi untuk mengingatkan Kepala Negara yang dinilai menyimpang dari jalur demokrasi. Rektor UII, Fathul Wahid menyebut setidaknya ada empat indikator gejala yang menjadi bukti Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi. Keempat indikator tersebut yaitu:
Pertama, pencalonan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pengambilan putusannya sarat intervensi politik. Bahkan dinyatakan terbukti melanggar etika dan menyebabkan Hakim MK Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua MK.
Kedua, diperjelas dengan pernyataan ketidaknetralan institusi kepresidenan oleh Jokowi dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak. Ketiga, distribusi bantuan sosial melalui pembagian beras dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Presiden. Lantaran ditengarai sarat nuansa politik praktis yang diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap pasangan capres cawapres tertentu.
“Keempat, mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu adalah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi,” kata profesor di bidang sistem dan teknologi informasi itu.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | DANIEL A. FAJRI I HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan Editor: Guru Besar Unpad: Seruan Padjadjaran Dibuat Karena Penguasa Gunakan Hukum yang Hilang Etika dan Moral