Tak Dihadiri Presiden Jokowi, Begini Sejarah Berdirinya PDIP yang Hari Ini Peringati HUT ke-51
Reporter
Ananda Bintang Purwaramdhona
Editor
Nurhadi
Rabu, 10 Januari 2024 09:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) hari ini, Rabu, 10 Januari 2024, memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-51. Acara peringatan kali ini tidak dihadiri Joko Widodo atau Jokowi karena presiden yang masih tercatat sebagai kader partai tersebut harus melawat ke beberapa negara ASEAN.
Ketidakhadiran Jokowi dikonfirmasi oleh Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana. “Persiapan kunjungan ke tiga negara tersebut sudah dilakukan beberapa bulan yang lalu. Mungkin tidak hadir HUT PDIP,” kata Ari pada Minggu, 7 Januari 2024.
Sejarah PDIP
Awalnya PDIP didirikan oleh Soekarno pada 4 Juli 1927 dengan nama Partai Nasional Indonesia (PNI). Dilansir dari Pdiperjuanganlampung.id¸ PNI kemudian bergabung dengan beberapa partai lain, termasuk Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.
Pada 10 Januari 1973, partai gabungan ini resmi disebut sebagai Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Setelah bergabung, PDI mengadakan musyawarah nasional (munas) pertama pada 20-24 September 1973 di Jakarta. Namun, munas tersebut tidak menghasilkan pencapaian signifikan. Bahkan, upaya untuk menyelenggarakan Kongres PDI pertama terus tertunda karena konflik internal yang tidak kunjung selesai.
Untuk mengatasi konflik tersebut, Megawati Sukarnoputri, anak kedua Sukarno, mendapat dukungan sebagai Ketua Umum (Ketum) PDI. Namun, Pemerintah Soeharto saat itu menolak dukungan tersebut dan bahkan melarang pencalonan Megawati Sukarnoputri dalam Kongres Luar Biasa (KLB) pada 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur.
Hal itu menimbulkan kembali konflik di internal. Salah satu konfliknya terjadi pada Kongres 22-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan. Pada 20 Juni 1996, pendukung Megawati Sukarno Putri melakukan unjuk rasa dan bentrok dengan aparat keamanan yang menjaga kongres tersebut. Pemerintah Suharto kemudian menetapkan Suryadi sebagai Ketum DPP PDI pada 15 Juli 1996.
Penetapan itu direspons pendukung Megawati dengan menggelar Mimbar Demokrasi di halaman kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta, pada 27 Juli 1996. Pada acara itu, muncul juga rombongan berkaus merah kubu Suryadi yang mengakibatkan bentrok dengan kubu Megawati. Peristiwa itu dikenal dengan Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau disingkat menjadi Kudatuli.
Dalam catatan Kontras, peristiwa itu mengakibatkan lima orang meninggal, 149 mengalami luka, serta 23 orang hilang. Peristiwa ini juga menyebabkan kerugian materiil mencapai 100 miliar rupiah.
Komnas HAM menyebut ada enam pelanggaran HAM dalam peristiwa itu, yakni pelanggaran terhadap asas kebebasan berserikat dan berkumpul, pelanggaran terhadap asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran terhadap asas kebebasan dari perilaku keji serta tidak manusiawi, pelanggaran terhadap perlindungan jiwa manusia, dan pelanggaran terhadap asas perlindungan harta benda.
Namun sampai saat ini, peristiwa tersebut belum diselesaikan melalui pengadilan padahal Komnas HAM telah merekomendasikan agar kasus ini diproses hukum. Setelah pemerintahan Suharto pada 1998, PDIP kemudian berada di bawah kendali Megawati. Hal itu ditetapkan pada Kongres ke-V di Denpasar, Bali, yang memutuskan Megawati Sukarnoputri sebagai Ketum DPP PDIP periode 1998-2003.
Megawati kemudian mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada 1 Februari 1999 agar dapat berpartisipasi dalam pemilu. Nama baru ini resmi disahkan dan dideklarasikan pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Jakarta.
PDIP melaksanakan Kongres I pada 27 Maret-1 April 2000 di Hotel Patra Jasa, Semarang, Jawa Tengah, yang menghasilkan keputusan Megawati Sukarnoputri sebagai Ketum DPP PDIP periode 2000-2005. Pada Kongres IV PDIP di Bali pada 8-12 April 2015, Megawati Sukarnoputri kembali dikukuhkan sebagai Ketum PDIP periode 2015-2020.
Pilihan Editor: