Warga Pulau Rempang Bentrok dengan Aparat, Koalisi Masyarakat Sipil Minta PSN Rempang Eco-City Dihentikan
Reporter
Yogi Eka Sahputra
Editor
Febriyan
Kamis, 7 September 2023 15:21 WIB
TEMPO.CO, Batam - Koalisi masyarakat sipil meminta aparat gabungan menghentikan tindakan kekerasan kepada masyarakat di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang terjadi hari ini, Kamis, 7 September 2023. Mereka juga meminta proses pembangunan proyek strategi nasional (PSN) Rempang Eco-City dihentikan.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai tindak kekerasan itu membuat masyarakat adat disana menjadi korban ambisi pembangunan nasional.
" TNI Angkatan Laut dan kepolisian menjadi alat negara untuk melancarkan ambisi pembangunan Kawasan Rempang Eco-City yang harus menggusur 16 Kampung Melayu Tua yang telah eksis sejak 1834," tulis mereka dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 7 September 2023.
Warga ditangkap hingga anak-anak mengalami luka
Berdasarkan pantauan Koalisi Masyarakat Sipil, bentrokan antara masyarakat adat dengan aparat terjadi pada pagi tadi sekitar pukul 10.00 WIB. Aparat gabungan yang menggunakan kendaraan taktis berupaya masuk ke Pulau Rempang secara paksa. Mereka memaksa masuk untuk melakukan pemasangan patok tanda batas dan cipta kondisi.
Masyarakat adat sebenarnya telah berkumpul di titik masuk Pulau Rempang, tepatnya di Jembatan 4 Barelang. Akan tetapi aparat justru menangkap warga yang mencoba menghalangi langkah mereka. Setidaknya 6 orang warga ditangkap, puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata yang dilepaskan aparat.
PSN Rempang Eco-City dinilai minim partisipasi
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan, pembangunan Kawasan Rempang Eco-City merupakan salah satu PSN yang dimuat dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023. Menurut dia, PSN ini tidak partisipatif sejak awal. Pemerintah dinilai abai terhadap suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di sana.
Hal itu, menurut Zenzi, membuat masyarakat menolak rencana pembangunan. Dia pun menuding Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau BP Batam, Kementerian Koordinator BIdang Perekonomian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merumuskan program ini tanpa persetujuan masyarakat.
"Atas dasar tersebut, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” sebut Zenzi.
Selanjutnya, Jokowi diminta copot Kepala BP Batam, Kapolda hingga Komandan TNI AL
<!--more-->
Koalisi Masyarakat Sipil pun meminta Pimpinan BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang, Komandan Pangkalan TNI AL Batam bertanggungjawab atas peristiwa berdarah tersebut. Mereka menilai peristiwa ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mereka pun meminta Presiden Joko Widodo alias Jokowi turun tangan dengan mencopot seluruh pimpinan lembaga yang terlibat dalam bentrokan itu.
”Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata. Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM,” sebut Azlaini Agus, salah satu Tokoh Riau yang ikut dalam koalisi tersebut.
Agus menilai warga Pulau Rempang berupaya untuk mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, hak untuk mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka. Sementara aparat, menurut dia, hanya bertindak untuk membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat.
Ribuan masyarakat adat di Batam sebelumnya sempat menggelar demonstrasi di depan Kantor BP Batam pada 23 Agustus lalu. Dalam demo itu mereka menyatakan menolak relokasi 16 kampung adat di Pulau Rempang. Mereka tidak menolak proyek pembangunan Rempang Eco-City. Pembangunan itu sendiri rencananya akan dilakukan oleh PT Megah Elok Graha, perusahaan di bawah naungan Artha Graha Grup milik Tomy Winata.