BW Minta Firli Bahuri Cs Mundur atau Diberhentikan dari KPK Usai Kisruh Kasus Basarnas
Reporter
Ade Ridwan Yandwiputra
Editor
Juli Hantoro
Minggu, 30 Juli 2023 12:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Bambang Widjojanto meminta Firli Bahuri cs sudah semestinya mundur dari KPK setelah mencuatnya kisruh penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas dengan TNI.
Menurut Bambang, kisruh tersebut telah mencederai komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh instansi yang paling bertanggungjawab dalam tugas tersebut.
"Kita dan pemberantasan korupsi tengah dinista dan dihina oleh institusi yang justru paling bertanggungjawab dan diamanahi sebagai Lembaga Pemberantasan Korupsi pasca-operasi tangkap tangan (OTT) Basarnas," kata Bambang melalui keterangan persnya, Ahad, 30 Juli 2023.
Bambang mengatakan, pernyataan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak bahwa OTT dan penetapan tersangka Kepala Basarnas merupakan kehilafan dan kealpaan yang dilakukan oleh Tim Penyelidik adalah keliru.
"Naif, konyol, absurd dan tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat. Begitupun ketika kasus OTT itu dinyatakan, diserahkan pada TNI bukan KPK yang menangani," kata Bambang.
Bambang menjelaskan, banyak landasan hukum yang bisa digunakan oleh para pimpinan KPK dalam beragumentasi terkait penanganan kasus di Basarnas tersebut, alih-alih menyalahkan anak buahnya.
Landasan hukum yang digunakan antara lain menggunakan UU 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK dan UU No. 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan.
"Sangat fatal dan mendasar dari Pimpinan KPK atas pemahaman mengenai Lembaga Basarnas serta tugas dan kewajibannya," kata Bambang.
Berangkat dari kasus tersebut, pria yang karib disapa BW itu mengatakan, Pimpinan KPK harus dinyatakan melakukan kesalahan fatal dan pelanggaran berat atas etik dan perilaku sehingga kehilangan kepantasan untuk menjadi Pimpinan KPK.
"Dan sangat layak diminta untuk mengundurkan diri atau diberhentikan," kata Bambang.
Sebelumnya KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka dalam kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas pada Rabu, 26 Juli 2023. Selain Henri, KPK juga menetapkan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus yang sama.
“Diduga HA (Henri Alfiandi) bersama dan melalui ABC (Arif Budi Cahyanto) diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, 26 Juli 2023.
KPK juga menetapkan Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA) sebagai pemberi suap.
Menyikapi itu, Komandan Pusat Polisi Militer TNI Marsekal Muda Agung Handoko langsung bersuara dan menyebut KPK telah melebihi kewenangannya dalam menjalankan tugas.
Agung mengatakan, baik Henri maupun Arif saat menjalankan tugasnya sebagai anggota Basarnas masih berstatus TNI aktif, sehingga penetapan tersangka bagi anggota TNI aktif tidak bisa sembarangan dilakukan selain oleh Pupom TNI.
"Menurut kami apa yang dilakukan oleh KPK untuk menahan personel militer menyalahi aturan," kata Agung dalam konferensi pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jumat 28 Juli 2023.
Pada hari yang sama, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak langsung berstatement bahwa penetapak tersangka terhadap Henri dan Arif merupakan kekhilafan dari anak buahnya dan meminta maaf atas kekeliruan tersebut.
"Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan, bahwasannya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kami yang tangani, bukan KPK," kata Johanis dalam konferensi pers di KPK, Jumat 28 Juli 2023.
Johanis merujuk pada Pasal 10 UU No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
"Dalam aturan itu, pokok-pokok peradilan itu diatur ada empat lembaga, peradilan umum, militer, peradilan tata usaha negara dan agama," kata Johanis.
Johanis mengatakan, berangkat dari kasus tersebut, pihaknya akan berbenah dan lebih berhati-hati dalam penanganan kasus korupsi khususnya yang melibatkan TNI.
"Disini ada kekliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan, oleh karena itu atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan dan kedepan kami akan berupaya kerjasama yang baik antara TNI dengan KPK," kata Johanis.
Pilihan Editor: Peristiwa Hukum Sepekan, Pemeriksaan Airlangga Hartarto hingga Polemik OTT Basarnas