PSI Sebut Ada 6 Dosa Besar Sistem Zonasi PPDB, Desak Nadiem Makarim Lakukan Ini
Editor
Febriyan
Kamis, 20 Juli 2023 14:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia atau DPP PSI, Furqan AMC, menekankan pentingnya evaluasi sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di seluruh Indonesia. Dia menyebutkan sistem tersebut memiliki setidaknya enam dosa besar.
"Penerapan sistem zonasi PPDB telah menimbulkan kisruh di berbagai daerah, karena itu wajib hukumnya sistem zonasi PPDB dievaluasi total," ungkap Furqan dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 20 Juli 2023.
Furqan menyatakan tujuan awal diterapkannya sistem zonasi sebenarnya sangat mulia. Diantaranya agar terjadi pemerataan akses pendidikan dan menghilangkan klasifikasi sekolah favorit dan tidak favorit.
Selain itu sistem itu juga juga diharapkan dapat mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga sehingga orang tua akan lebih mudah memantau perkembangan anak dan kegiatan sekolahnya.
Namun, menurut Furqan sistem zonasi PPDB justru menimbulkan berbagai masalah dalam penerapannya. Dia mencatat setidaknya terdapat 6 dosa besar sistem yang diterapkan sejak 2017 tersebut, yaitu:
1. Diskriminasi terhadap siswa
Calon anggota legislatif DPR RI dari PSI yang akan bertarung di daerah pemilhan (Dapil) 2 Jawa Barat tersebut menilai sistem Zonasi PPDB telah menyebabkan praktek diskriminasi terhadap siswa yang rumahnya berada di luar zonasi. Hal ini dipicu oleh tak meratanya sebaran sekolah negeri di setiap wilayah.
"Sebagai contoh di DKI, ada 40 SMA negeri di Jakarta Timur, sementara di Jakarta Selatan cuma 29. Lebih parahnya lagi di Jakarta Utara dan Jakarta Barat masing-masing cuma ada 17 SMA Negeri. Sementara di Jakarta Pusat paling sedikit, cuma 13 SMA Negeri," kata Furqan.
Sebaran sekolah negeri yang tidak merata itu, menurut dia, membuat akses calon peserta didik baru akses untuk mendapatkan sekolah negeri tidak setara atau terdiskriminasikan. Di saat yang sama, kata Furqan, jumlah daya tampung sekolah negeri sangat terbatas dibanding pertumbuhan populasi.
"Sebagai contoh berdasarkan data Disdik DKI jumlah daya tampung SMP di DKI 71 ribu kursi, sementara perkiraan jumlah murid barunya mencapai 149 ribu siswa," kata dia.
Untuk SMA, menurut Furqan, daya tampung di DKI cuma 28 ribu kursi dan SMK 19 ribu kursi, sementata perkiraan jumlah murid barunya mencapai 139 ribu siswa.
Selanjutnya, merusak moral siswa hingga suburkan budaya korupsi
<!--more-->
2. Merusak moral siswa
Tidak meratanya akses terhadap sekolah negeri itu kemudian menyebabkan masalah lainnya. Orang tua siswa, karena kesulitan ekonomi, lantas melakukan manipulasi data adminstrasi alamat pada Kartu Keluarga (KK).
Hal itu, menurut Furqan dapat merusak moral anak karena mengetahui orang tuanya menghalalkan segala cara agar mereka dapat duduk di sekolah negeri.
Dia menyatakan ribuan sampai jutaan anak bisa rusak moralnya setelah temuan di berbagai daerah mengungkapkan kasus seperti itu.
"Di Pekan Baru Riau, terungkap 31 KK palsu dari calon siswa. Di kota Bogor, 208 siswa SMP dicoret karena ada masalah kependudukan. Di Jawa Barat, Gubernur Ridwan Kamil mengumumkan 4.791 siswa baru tingkat SMA sederajat dicoret dari PPDB Jabar," kata dia.
Dia pun menilai jumlah manipulasi data tersebut jauh lebih besar dari yang sudah terungkap ke publik.
"Besar kemungkinannya temuan kasus ini hanyalah fenomena puncak gunung es. Kita patut khawatir praktek manipulasi data terjadi jamak di berbagai kabupaten/kota di seluruh Indonesia," kata dia.
3. Sistem Zonasi PPDB ancam kondisi psikologi anak
Selain itu, Furqan juga menilai masalah ini bisa berakibat buruk bagi kondisi psikologi anak yang orang tuanya ketahuan memalsukan data administrasi kependudukan.
"Si anak akan menanggung resiko stigma sosial maupun perasaan bersalah. Konsekwensinya bisa mempengaruhi konsep diri anak, kata dia.
4. Suburkan budaya korupsi
Dari sisi birokrasi, sistem zonasi PPDB dinilai menyuburkan praktek pungli dan percaloan. Dia menilai perubahan data administrasi kependudukan tersebut tak akan bisa terjadi tanpa ada aparat pemerintahan yang bermain.
Budaya korupsi tersebut, menurut dia, diperparah dengan budaya kolusi dan nepotisme yang juga marak dalam bentuk praktek "titipan" siswa dari pejabat atau dari tokoh masyarakat setempat.
"Pada akhirnya, ini akan membentuk sikap permisif terhadap budaya korupsi. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pun akan semakin sulit diberantas, bahkan bisa mewabah dalam segala bidang," kata dia.
Selanjutnya, rusak validitas data kependudukan dan desakan kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim
<!--more-->
5. Merusak validitas data kependudukan
Maraknya praktek pemalsuan KK tersebut juga dinilai membuat sistem zonasi PPDB memicu praktek manipulasi data Kartu Keluarga (KK). Dia menyatakan hal itu pada akhirnya merusak tertib data dukcapil dan selanjutnya akan menggangu validitas sensus kependudukan.
6. Sistem zonasi PPDB membuat siswa dari keluarga kurang mampu semakin sulit memperoleh sekolah
Terakhir, Furqan mempermasalahkan besaran kuota sistem zonasi PPDB. Menurut dia hal itu membuat kuota untuk anak Berprestasi dan kuota afirmasi untuk siswa dari keluarga yang tidak mampu berkurang.
Mengutip Peraturan Kemendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang pelaksanaan PPDB, Furqan menyatakan daya tampung jalur zonasi untuk SD minimal 70% dari daya tampung sekolah. Sedangkan untuk SMP dan SMA masing-masing minimal 50% dari daya tampung sekolah.
Untuk Afirmasi, paling sedikit kuotanya 15%, sementara untuk perpindahan orang tua/wali paling banyak 5%. Jika persentase kuota masih tersisa, baru dialokasikan untuk siswa berprestasi.
Karena itu, Furqan menyatakan PSI mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim untuk mengkaji ulang sistem zonasi PPDB. Menurut dia, pemerintah harus menjamin hak pendidikan semua anak di Indonesia secara merata tanpa adanya diskriminasi.