Tangkap 5 Tersangka Teroris, Begini Sejarah Densus 88
Reporter
Tempo.co
Editor
Naufal Ridhwan
Jumat, 17 Maret 2023 20:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Polri menangkap lima tersangka dugaan tindak pidana terorisme jaringan Jamaah Islamiyah (JI) di wilayah Sulawesi Tengah.
"Lima tersangka teroris yang ditangkap adalah kelompok teroris jaringan Jamaah Islamiah Provinsi Sulawesi Tengah," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan di Jakarta, Jumat 17 Maret 2023.
Kelima tersangka ditangkap pada Kamis 16 Maret 2023. Mereka adalah, AF (41), KB (52), MA (42), ZA (42) dan RAM (46).
Lalu, bagaimana sejarah Densus 88?
Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Kepolisian Republik Indonesia, lebih dikenal sebagai Densus 88 Anti-Teror Polri, adalah unit anti-terorisme yang dimiliki oleh Polri dan memiliki prioritas untuk menghentikan setiap tindak kejahatan terorisme di Indonesia.<!--more-->
Densus 88 Berawal dari Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme
Pembentukan Densus 88 dimulai dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme untuk mengatasi kasus teror bom yang banyak terjadi. Instruksi ini dilanjutkan dengan penerbitan Paket Kebijakan Nasional untuk Pemberantasan Terorisme melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 dan 2 Tahun 2002.
Menurut Muradi, seorang pengamat kepolisian dari Universitas Padjajaran, dalam bukunya "Densus 88 AT: Konflik, Teror, dan Politik", Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme pada tahun 2002 sebagai respons terhadap perintah Instruksi Presiden. Desk ini terdiri dari Detasemen C Resimen IV Gegana Brimob Polri dan tiga organisasi anti-teror TNI serta intelijen.
Semua institusi tersebut kemudian bergabung menjadi Satuan Tugas Anti-Teror yang dikoordinasikan oleh Departemen Pertahanan. Namun, Menteri Pertahanan saat itu, Matori Abdul Jalil, dianggap tidak mampu mengkoordinasikan institusi-institusi tersebut. Menurut Muradi, "Masing-masing kesatuan anti-teror lebih suka berkoordinasi dengan organisasi yang memimpin mereka," tulis Muradi.
Koordinasi yang tidak efektif ini menyebabkan serangan teror di Indonesia tidak mengalami penurunan. Oleh karena itu, kepolisian memutuskan untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri yang beroperasi di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) dan dipimpin oleh seorang perwira polisi bintang satu. Salah satu tugas utama Satgas Bom Polri adalah menangani kasus Bom Natal pada tahun 2001 dan kasus bom lainnya di beberapa daerah seperti Sukabumi, Bandung, Kudus, dan Mojokerto.<!--more-->
Densus 88 Hasil Leburan Satgas Bom Polri dengan Direktorat VI Anti-teror Polri
Namun, keberadaan Satgas Bom Polri dan Direktorat VI Anti-Teror Polri dianggap memiliki fungsi dan tugas yang sama, sehingga terjadi overlap. Kapolri saat itu, Jenderal Da'i Bachtiar, memutuskan untuk menggabungkan kedua unit ini menjadi satu melalui Surat Keputusan Kapolri No. 30/VI/2003 tentang pembentukan Densus 88.
Pada saat berdiri pertama kali, Densus 88 hanya terdiri dari 75 orang dan dipimpin oleh Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian, yang menjabat sebagai Kapolri dari tahun 2016 hingga 2019 dan sekarang menjadi Menteri Dalam Negeri.
Secara historis, inisiasi untuk membentuk satuan anti-teror sebenarnya diawali oleh Komjen Pol Gregorius Mere, namun baru resmi diterima dan diakui pada 26 Agustus 2004 oleh Kapolda Metro Jaya saat itu, Firman Gani.
ANTARA | ACHMAD HANIF IMADUDDIN