Peneliti BRIN Sebut Penghapusan Jabatan Gubernur Tak Mungkin Dilakukan
Reporter
Tika Ayu
Editor
Juli Hantoro
Selasa, 7 Februari 2023 07:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Usul penghapusan jabatan gubernur dan pemilihan gubernur lewat mekanisme DPRD yang dilontarkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menimbulkan kontroversi.
Peneliti Ahli Madya Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN Nyimas Latifah Letty Aziz mengatakan, soal penghapusan gubernur tidak mungkin dilakukan. Musababnya, kata dia, posisi gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, dan berfungsi sebagai pelaksana koordinasi, pembinaan, dan pengawasan pemerintah daerah.
"Karena Kemendagri bisa kewalahan juga kalau pemkab (pemerintah kabupaten) atau pemkot (pemerintah kota) langsung ke pusat," kata Letty saat dihubungi Senin, 6 Februari 2023.
Baca juga: Bambang Soesatyo Usul Gubernur Ditunjuk Pemerintah, Gibran: Lebih Gayeng Dipilih Langsung
Adapun soal pemilihan gubernur, Letty mengatakan bisa dilakukan tanpa pemilihan langsung. Jika Pilkada ditiadakan, bisa menggunakan skema gubernur dipilih oleh DPRD. Dalam artian suara rakyat diwakilkan DPRD karena mengadopsi skema pemilihan tak langsung.
"Sebenarnya konstitusi sudah mengatur kepala daerah dipilih secara demokratis. Untuk pemilihan secara demokratis bisa dipilih langsung oleh rakyat maupun tidak langsung (dipilih melalui perwakilan rakyat di DPRD) yang hal ini sudah diatur oleh UU," katanya.
Menurut Letty, pelaksanaan pemilihan gubernur lewat mekanisme DPRD tidak mengurangi hak pilih masyarakat, karena tetap masih ada peran serta masyarakat di dalamnya.
Selanjutnya soal model pemilihan gubernur...
<!--more-->
Lima Model Pemilihan Gubernur
Berdasarkan catatan Perludem dalam, Mempertahankan Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh Hasyim Asy'ari menyebutkan bahwa skema pemilihan gubernur ada lima model.
Model pertama, kepala daerah dipilih secara tidak langsung, melainkan hanya ditunjuk atau diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Hal ini sesuai dalam ketentuan vide Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat sesuai peraturan vide Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.
Model ini DPRD memilih beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya. Dalam konteks pemilihan gubernur maka akan dipilih langsung oleh presiden.
Model ketiga, sesuai ketentuan (vide Pasal 34 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Kepala daerah dipilih secara tidak langsung, kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Model keempat, DPRD menetapkan kepala daerah. Model seperti ini pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan” oleh DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden. Sesuai ketentuan vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3, 4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu. Sesuai ketentuan vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Dimana, model ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Kendati banyak skema pelaksanan pemilihan gubernur, Letty mengatakan, pemerintah harus melihat skenarionya. Dalam penelitian yang pernah dilakukan Letty tentang Gagasan Pemilihan Kepala Daerah Asimetris pada 2014 lalu, disimpulkan bahwa pelihan gubernur yang paling demokratis adalah pemilihan langsung yang jujur dan adil.
Menurut Letty, ada dua skenario pemilihan yaitu skenario optimis, yaitu pemilihan gubernur secara langsung bisa dilakukan jika memang persiapannya sudah baik.
Kedua adalah skenario realistis, di mana untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang menghambat pelaksanaan pemiliha gubernur, penyelenggara akan memperhitungkan kondisi sosial ekonomi, politik masyarakat atau Pilkada asimetris.
"Jadi memang tidak bisa diperlakukan sama untuk seluruh provinsi," katanya.
Adapun gagasan pemilihan gubernur lewat DPRD, Letty mengatakan tak bisa serta merta dilakukan. Sebab, kata dia, masyarakat sudah terbiasa dengan pelaksanaan Pilkada langsung karena dianggap lebih demokratis.
"Penerapan pilkada gubernur, misalnya melalui DPRD sebagaimana yang sudah pernah diatur di UU sebelumnya memang tidak bisa langsung sekaligus," ujar dia.
Menurut Letty, jika pemerintah ingin meniadakan pemilihan gubernur secara langsung, perlu ada sosialisasi kenapa suatu model pemilu dipilih. Dan ada pemahaman lebih banyak manfaatnya atau justru merugikan.
"Dan karakter penduduk dengan nuansa budaya juga beragam untuk kasus Indonesia. Jadi bertahap saja dulu dengan melihat pada kesiapan daerah masing masing," katanya.
Letty menyebutkan kalau penerapan model pemilu berganti tentu akan ada pro dan kontranya, tapi hal tersebut bisa saja disosialisasikan dengan melihat urgensinya, mulai peran dan fungsi gubernur.
"Tetapi bukan berarti dihapus jabatan gubernurnya," katanya.
Baca juga: Usulan Penghapusan Jabatan Gubernur, PP Muhammadiyah: Lebih Baik Dibahas Usai Pemilu 2024