Atmakusumah: Ada Keraguan untuk Memberikan Kebebasan Pers
Jumat, 3 April 2009 19:02 WIB
"Persoalannya adalah keraguan untuk memberikan kebebasan pers," kata Atmakasumah dalam diskusi Hukum Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen , Article 19, United States Agency International Development dan Democratic Reform Support Program di Jakarta kemarin.
Menurutnya, keraguan ini muncul karena selama dua generasi masyarakat tidak pernah merasakan kebebasan yang sesungguhnya. Sehingga pasal-pasal pencemaran nama baik dan pasal-pasal represif lainnya tetap dipertahankan. Ironisnya lagi, Atmakusumah melanjutkan, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) justru jauh lebih represif kepada wartawan dibandingkan KUHP yang dibuat oleh kolonial Belanda.
Ia menjelaskan, pada KUHP warisan kolonial Belanda, ada 35 pasal yang dapat memenjarakan wartawan dan hukumannya paling lama tujuh tahun penjara. Namun, dalam revisi KUHP, jumlahnya 60 pasal dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.
"Revisi ini tiga kali lebih berat daripada KUHP kolonial Belanda," ujarnya.
Pengacara Todung Mulya Lubis menilai pemerintah dan penegak hukum sedang melakukan politik dua muka dalam menyikapi kebebasan pers. Ironisnya masyarakat pers juga terpecah belah dalam menyikapi kebebasan pers dan Undang-Undang tentang Pers sebagai lex specialis. "Kebebasan pers Indonesia saat ini berada dalam situasi ambivalen," ujarnya.
Menurut pengacara dari International Federation of Journalists Asia-Pacific, Jim Nolan , pencemaran nama baik memang menjadi masalah utama di kawasan Asia Tenggara seperti Philipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Kamboja, dan Timor Leste. "Ini terutama berkaitan dengan sistem hukum yang diterapkan di negara-negara tersebut," kata Nolan dalam diskusi itu.
MARIA HASUGIAN