Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memukul kentongan saat menggelar aksi jalan mundur dalam car free day di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 29 September 2019. Menurut Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim, kentongan menjadi simbol tanda bahaya dan tanda kritis terhadap demokrasi di Indonesia. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mendesak Pemerintah menghentikan penyusupan intelejen ke dalam institusi pers seperti kasus Iptu Umbaran. Desakan ini dilatarbelakangi dengan adanya mantan kontributor televisi dilantik menjadi Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah pada Senin, 12 Desember 2022 lalu.
Diketahui bahwa Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Iqbal Alqudussy mengungkapkan bahwa Iptu Umbaran Wibowo pernah menjadi kontributor TVRI. Umbaran saat itu menjadi kontributor saat ia sedang bertugas sebagai intelijen di wilayah Blora.
Ketua AJI, Sasmito menilai praktek tersebut merupakan tindakan memata-matai yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pers Indonesia.
Menurut Sasmito tindakan tersebut menyalahi aturan dalam Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-Undang Pers menyebutkan, pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
"Kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar," kata Sasmito dalam keterangan tertulisnya Kamis 15 Desember 2022.
Sasmito mengungkapkan pers memiliki imunitas dan hak atas kemerdekaan dalam melakukan kerja-kerjanya. Dengan menyusupkan polisi pada media, menurutnya, Kepolisian juga telah mengabaikan hak atas kemerdekaan pers.
"Penyusupan ini juga bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berbunyi 'Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.'" ujarnya.
Menurut Sasmito, dalam kasus ini, Iptu Umbaran dan Polri jelas telah menyalahgunakan profesi wartawan untuk mengambil keuntungan atas informasi yang diperoleh saat bertugas menjadi wartawan.
Organisasi pers serta institusi media dalam hal ini, menurut Sasmito, juga seharusnya dapat berperan aktif dalam menelusuri latar belakang wartawan. Hal ini akan berdampak pada kredibilitas organisasi maupun media yang bersangkutan dalam mengemban tugasnya sebagai wadah pers karena tidak mampu menjamin profesi pers yang terbebas dari potensi intervensi aktor-aktor negara.
"Lolosnya anggota kepolisian sebagai wartawan yang tersertifikasi dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pers dan kerja-kerja pers secara umum," kata dia.
Dewan Pers Desak Propam Polri Usut Kekerasan Aparat terhadap Jurnalis saat Aksi Tolak RUU Pilkada
24 Agustus 2024
Dewan Pers Desak Propam Polri Usut Kekerasan Aparat terhadap Jurnalis saat Aksi Tolak RUU Pilkada
Dewan Pers meminta segera penyelidikan internal untuk memberikan keadilan bagi para jurnalis yang menjadi korban saat meliput demo pada 22 Agustus 2024.