Mahfud Md Singgung Soal Aparat yang Bekingi Tambang Ilegal
Reporter
magang_merdeka
Editor
Febriyan
Rabu, 14 Desember 2022 11:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menyinggung soal perilaku aparat yang menjadi pelindung bagi tambang ilegal. Dia menyatakan aparat sulit mengungkap kasus tambang ilegal karena adananya unsur senioritas.
"Belum lagi ada beking-bekingan, aparat yang membeking suatu tambang. Kita tidak bisa selesaikan karena senior yang membeking," ujar Mahfud dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Satgas Saber Pungli di Jakarta, Selasa, yang ditayangkan di Youtube Kemenko Polhukam.
Dia menyebut, ada aparat yang membekingi penarikan pungutan disebuah kompleks penduduk sehingga tidak ada yang berani mengambil tindakan.
"Kita harus membuat batas, tindakan apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi ini," kata Mahfud.
Lebih lanjut, dia menjelaskan tentang perizinan usaha pertambangan serta hak pengusahaan hutan (HPH) yang dapat merugikan negara. Kendati demikian, perizinan itu tetap diberikan secara sah, yang membuat pemerintah harus menunggu hingga masanya habis.
"Kalau kita langsung cabut tidak boleh, itu melanggar hukum. Sehingga menyebabkan banyak sekali masalah yang dulu dikontrakkan dengan cara yang kolutif," katanya menjelaskan.
Dia mengutarakan perizinan PT Freeport yang diperpanjang 10 tahun oleh pemerintah sebelumnya, sebelum masa izinnya habis.
"Ketika izin habis, mau dicabut oleh pemerintah, tidak ada yang tahu 10 tahun sebelumnya kalau izinnya diperpanjang. Hal ini membuat kita harus menunggu sampai habis pada tahun 2016," katanya mengungkapkan.
Selanjutnya, kasus Ismail Bolong
<!--more-->
Dugaan adanya perlindungan dari aparat terhadap aktivitas tambang ilegal mencuat sejak awal November lalu. Saat itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengadakan diskusi bertajuk 'Persekongkolan Geng Tambang di Polisi dengan Oligarki Tambang.'
Dalam diskusi itulah pertama kalinya video Ismail Bolong, mantan anggota polisi yang menjadi pemilik tambang ilegal, diputar. Akan tetapi pemutaran video itu sempat mengalami pembajakan dari pihak yang tak diketahui.
Dalam video yang kemudian viral di dunia maya itu, Ismail mengakui memberikan uang bernilai miliaran rupiah kepada sejumlah petinggi Polri. Diantaranya adalah Kabareskrim Komjen Agus Andrianto.
Belakangan, Ismail Bolong yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka membantah keterangan dalam video itu. Dia menyatakan video itu dibuat saat dirinya diperiksa oleh Dvisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Dia mengaku dipaksa membaca teks yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh seorang perwira.
Tak lama setelah video itu viral, muncul dua dokumen laporan hasil penyelidikan yang dikeluarkan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Dua dokumen itu ditandatangani oleh mantan Kepala Biro Pengamanan Internal Polri, Brigjen Hendra Kurniawan, dan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo. Keduanya kini menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Dalam laporan tersebut, Sambo cs menyebut telah menemukan bukti yang kuat terkait adanya pembiaran aktivitas tambang ilegal yang dilakukan oleh Ismail Bolong. Sambo juga memperinci aliran dana kepada sejumlah perwira tersebut.
Hendra Kurniawan membantah adanya tekanan dalam pemeriksaan terhadap Ismail Bolong. Melalui pengacaranya, Henry Yosodiningrat, dia menyatakan video itu dibuat untuk menguatkan tudingan adanya keterlibatan sejumlah perwira dan anggota Polri lainnya.
Kabareskrim Komjen Agus Andrianto pun membantah menerima aliran dana Ismail Bolong seperti tertuang dalam dokumen yang ditandatangani Sambo dan Hendra. Dia justru balik menuding Sambo dan Hendra menerima uang dari Ismail karena tak langsung menangkapnya.
Mahfud Md pun sempat menyatakan akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal adanya dugaan beking aparat di tambang ilegal tersebut. Kasus ini sudah dilaporkan oleh Koalisi Solidaritas Pemuda Mahasiswa ke KPK, akan tetapi hingga saat ini belum ada tindak lanjut atas laporan tersebut.
NESA AQILA