IDI DIsebut Superbody, Guru Besar FK Unair Angkat Bicara
Reporter
magang_merdeka
Editor
Febriyan
Senin, 12 Desember 2022 10:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Djohansjah Marzoeki mengatakan bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak anggapan bahwa lembaga tersebut merupakan superbody. Menurut dia, ada pihak yang ingin memecah belah IDI dengan menyebut mereka memiliki kewenangan terlampau besar dan sebagai biang kerok.
"Menurut saya, orang-orang yang mengatakan IDI itu sebagai superbody, memiliki konotasi yang jelek, seolah-olah IDI itu berkuasa dan bisa berlaku sewenang-wenang. Terlebih dianggap 'biang kerok', itu penghinaan," ujar Djohansjah dalam Forum Komunikasi Ikatan Dokter Indonesia pada Ahad, 11 Desember 2022.
Menurutnya, hal tersebut merupakan sesuatu yang keliru, yang mana mungkin dikatakan oleh seseorang yang tidak mengerti peran dokter. "Dokter itu akademisi nomor satu, ilmuwan, jadi dokter bekerja atas prinsip-prinsip keilmuan," ujarnya.
Di samping itu, masih ada peraturan-peraturan serta tata tertib yang harus diikuti dalam berprofesi. Jadi, katanya, sebagai ilmuwan dan berprofesi, IDI sudah terkontrol dengan baik.
Dia menjelaskan, etika kedokteran hanya dapat dikuasai oleh orang-orang yang bergelut di dalamnya, bukan profesi lain seperti, ekonom, politikus, dan lainnya. Jadi, katanya, sudah sewajarnya kalau yang dimulai dari hulu ke hilir itu dilakukan oleh dokter. "Jadi itu bukan super body yang berkonotasi sewenang-wenang,itu suatu kewajaran menurut saya," katanya.
Menurut Djohansjah, seseorang yang berprofesi sebagai dokter tidak memiliki kekuasaan, yang mana dalam ruang pikir mereka merupakan rational thinking, seperti benar atau tidak, valid atau tidak, dan sebagainya.
"Kita tidak peduli dengan kekuasaan, dan itu sudah dipraktekkan oleh IDI," katanya sembari menyampaikan bahwa justru presiden yang memiliki wewenang disebut superbody, bukan IDI.
Selain itu dia juga menyatakan tidak terima ketika IDI dikatakan sebagai "biang kerok" dalam kedokteran. Menurutnya, itu merupakan suatu penghinaan dan tuduhan yang tidak berdasar sehingga dapat menimbulkan fitnah.
"Itu bisa menimbulkan fitnah, karena IDI penuh dengan nuansa akademik, nuansa ilmiah," katanya mengungkapkan.
Dia menambahkan, bersama dengan pemerintah yang memiliki wewenang, hal-hal yang dilakukan oleh IDI dalam dunia kesehatan untuk kepentingan masyarakat.
"Jadi kita hendaknya sebagai partner ya, dalam mengabdi kepada masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah," ujarnya.
Diskursus soal IDI sebagai superbody mencuat dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah digarap oleh DPR RI. Melalui RUU tersebut, DPR berencana untuk memangkas kewenangan lembaga kedokteran dan organisasi profesi kesehatan lainnya.
RUU Kesehatan sendiri telah mendapatkan protes dari IDI dan berbagai organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan lainnya. Mereka menilai rancangan undang-undang yang dibuat dengan metode Omnibus Law itu minim partisipasi publik.
NESA AQILA