Selangkah Lagi Disahkan Jadi Undang-Undang, Ini Pasal yang Direvisi di Draf RKUHP
Reporter
Ima Dini Shafira
Editor
Juli Hantoro
Jumat, 25 November 2022 10:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang masih menyisakan kontroversi selangkah lagi akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kemarin, Komisi Hukum DPR dan Kementerian Hukum dan HAM menyepakati semua pasal yang termaktub dalam RKUHP di tingkat I.
Keputusan ini diambil usai Komisi Hukum dan pemerintah membahas 23 pasal yang dirangkum dari daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi yang diserahkan kepada pemerintah.
Dari 9 fraksi, sebanyak 7 fraksi menyetujui RKUHP dibawa ke pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna. Mereka adalah fraksi Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Adapun dua fraksi lainnya menyetujui dengan catatan, yakni Fraksi PDIP dan PKS.
Baca juga: RKUHP Disepakati di Pembahasan Tingkat I, Bakal Dibawa ke Sidang Paripurna DPR
“Apakah naskah RUU KUHP dapat dilanjutkan pada pembahasan tingkat kedua yaitu pengambilan keputusan yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR terdekat?” tanya pimpinan rapat, Adies Kadir, yang disambut dengan jawaban setuju oleh peserta rapat, Kamis, 24 November 2022.
Selanjutnya, 23 pasal masih disoroti Komisi Hukum...
<!--more-->
Dari 23 pasal yang dibahas dalam rapat penyempurnaan draf RKUHP, sejumlah pasal masih disoroti Komisi Hukum. Di antaranya pasal mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat alias living law, hukuman mati, penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan umum, narkotika, rekayasa kasus, dan kohabitasi.
Rapat sempat di skors selama kurang lebih 3 jam. Waktu ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk berunding ihwal pasal-pasal yang masih mengantongi catatan dari Komisi Hukum. Usai berdiskusi, pemerintah menyampaikan perubahan dalam sejumlah pasal yang disoroti, yakni sebagai berikut:
1. Hukum yang hidup yang di masyarakat alias living law
Dalam draf awal RKUHP versi 24 November, living law diatur dalam pasal 2 yang berisi 2 ayat. Adapun bagian penjelasan menyebutkan bahwa untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat.
Komisi Hukum DPR kemudian mengusulkan agar pedoman pembentukan living law didasarkan pada Peraturan Pemerintah. “Kalau diserahkan ke daerah untuk membuat Perda masing-masing, maka tiap daerah akan berlomba-lomba memajukan hukum adatnya yang bisa jadi tidak berlaku saat ini,” kata anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari.
Draf akhir RKUHP versi 24 November kemudian menambahkan ayat dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara penentuan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pidana mati
Sejak rapat pembahasan RKUHP pada 9 November 2022 lalu, pasal pidana mati menjadi sorotan Komisi Hukum. Adapun dalam draf awal RKUHP versi 24 November, pidana mati diatur dalam pasal 100 yang menyebutkan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan dan peran terdakwa dalam tindak pidana.
Anggota DPR Komisi Hukum satu suara untuk menghapuskan frasa “dapat” di pasal ini. Menurut mereka, penggunaan kata “dapat” mengartikan bahwa hakim bisa memilih untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan, atau langsung menjatuhkan pidana mati.
“Kalau pake kata ‘dapat’ maka bukan jadi pidana alternatif, tetapi dapat menjadi pidana alternatif,” kata anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman.
Draf akhir RKUHP versi 24 November kemudian menghapus frasa ‘dapat’, sehingga berbunyi: Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan dan peran terdakwa dalam tindak pidana.
Selanjutnya tindak pidana terhadap ideologi negara...
<!--more-->
3. Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara
Draf akhir RKUHP versi 24 November yang mengatur soal tindak pidana terhadap ideologi negara direformulasi. Jika mulanya bagian ini mengatur ihwal penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka draf akhir RKUHP versi 24 November menambahkan frasa “atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila”. Adapun ketentuan ini diatur dalam pasal 188 RKUHP.
4. Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara
Draf akhir RKUHP versi 24 November menggabungkan dua pasal, yakni pasal 240 dan 347. Mulanya, pasal 240 mengatur soal penghinaan terhadap pemerintah, sementara pasal 347 mengatur soal penghinaan terhadap lembaga negara.
Komisi Hukum DPR kemudian mengusulkan agar pasal 240 digabungkan dengan pasal 347 mengingat kedua pasal beririsan. Sehingga, pasal 240 dalam draf akhir RKUHP versi 24 November mengatur soal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Komisi Hukum sebelumnya juga mengusulkan agar frasa penghinaan dibatasi menjadi delik fitnah, yakni menuduhkan sesuatu yang diketahuinya tidak benar.
Usulan ini diakomodasi dalam penjelasan pasal 240 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan menghina adalah perbuatan merendahkan atau merusak kehormatan atau citra, termasuk menista atau memfitnah. Penjelasan pasal 240 juga menegaskan bahwa kritik berbeda dengan penghinaan.
5. Penghinaan terhadap Pengadilan
Aturan ini diatur dalam pasal 280. Mulanya, penjelasan dalam aturan ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bersikap tidak hormat adalah bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat hakim dan pengadilan.
Usai mendapatkan usulan dari Komisi Hukum, penjelasan pasal 280 direformulasi menjadi “yang dimaksud dengan bersikap tidak hormat adalah bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat aparat penegak hukum, dan petugas pengadilan, atau persidangan”.
Selanjutnya soal kohabitasi...
<!--more-->
6. Kohabitasi
Draf akhir RKUHP versi 24 November 2022 menyebutkan bahwa dengan berlakunya RKUHP, maka seluruh peraturan perundang-undangan mengenai kohabitasi tidak berlaku.
7. Aborsi
Ketentuan mengenai aborsi diatur dalam pasal 463 RKUHP. Aturan ini menyebutkan bahwa setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Namun, aturan ini tidak berlaku jika perempuan merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang menyebabkan kehamilan dengan umur kehamilannya tidak melebihi 12 minggu.
“Soal aborsi saya usulkan untuk diubah agar jadi 14 minggu karena ada rujukan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO),” kata anggota DPR Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari.
Draf akhir RKUHP versi 24 November kemudian mengubah ketentuan ihwal aborsi menjadi 14 minggu.
8. Narkotika
Aturan mengenai narkotika diatur dalam pasal 610 RKUHP. Mulanya, Komisi Hukum DPR mengusulkan agar aturan mengenai narkotika dihapuskan mengingat komisi tersebut tengah berupaya merevisi UU Narkotika.
Namun, pemerintah dan Komisi Hukum pada akhirnya berkompromi dengan memasukkan tindak pidana ihwal kepemilikan narkotika dalam RKUHP, sementara ketentuan mengenai penggolongan dan jumlah narkotika mengacu pada UU yang mengatur mengenai narkotika.
9. Tindak Pidana ITE
Dalam rapat kemarin, Komisi Hukum DPR mengusulkan agar pemerintah mencabut pasal-pasal karet yang termuat dalam UU ITE. Mulanya, draf awal RKUHP versi 24 November hanya mencabut UU ITE pasal 27 ayat 3, 30, 31 ayat 1 dan 2, 46, dan 47. Dalam draf akhir versi 24 November, RKUHP turut mencabut pasal 27 ayat 1 dan 28 ayat 2.
Baca juga: RKUHP Disahkan di Tingkat I, Wamenkumham: Tidak Mungkin Puaskan Semua Pihak