Ketahui Standardisasi dan Pengujian Kemasan Pangan
Kamis, 3 November 2022 12:50 WIB
JAKARTA - Setiap kemasan pangan yang beredar di masyarakat harus memenuhi standar dan lulus uji. Sejumlah lembaga dengan laboratorium terakreditasi dapat menguji untuk memastikan apakah suatu kemasan pangan telah memenuhi standar tertentu atau belum.
Lembaga tersebut di antaranya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM); Balai Besar Standardisasi Pelayanan Jasa Industri Kimia, Farmasi, dan Kemasan (BBSPJIKFK) Kementerian Perindustrian; dan beberapa perusahaan swasta. Kepala Balai Besar Standardisasi Pelayanan Jasa Industri Kimia, Farmasi dan Kemasan (BBSPJIKFK) Muhammad Taufiq mengatakan, acuan dalam pengujian dan standardisasi kemasan pangan adalah Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2021 tentang Label Pangan Olahan, dan rujukan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).
"Ketatnya peraturan tentang kemasan pangan demi keamanan dan keselamatan masyarakat," kata Taufiq kepada Tempo, Senin, 24 Oktober 2022. Kemasan pangan berfungsi mewadahi dan membungkus, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak dengan isinya. Kemasan pangan harus mampu melindungi produk dari kontaminasi, memelihara kualitas, dan meningkatkan masa simpan. Kemasan juga mesti melindungi pangan dari pengaruh lingkungan, seperti cahaya, oksigen, kelembapan, mikroorganisme, serangga, debu, bau tidak sedap, hingga pengaruh fisik, seperti tekanan, terjatuh, getaran dan sebagainya. Dari sisi ekonomi, kemasan bertujuan memenuhi keinginan konsumen, memperluas pangsa pasar, meningkatkan nilai jual, mencerminkan keunikan produk, serta memudahkan distribusi dan transportasi.
Terdapat delapan jenis bahan kemasan yang boleh berkontak dengan pangan. Material itu adalah plastik, karet atau elastomer, kertas dan karton, penutup/gasket/segel, pelapis, keramik, gelas, dan logam. Dari delapan jenis bahan itu, Taufiq mengatakan, tren penggunaan kemasan untuk pangan yang paling banyak digunakan adalah plastik.
Dalam menguji kemasan pangan, Taufiq mengatakan, Balai Balai Besar Standardisasi Pelayanan Jasa Industri Kimia, Farmasi dan Kemasan berpedoman pada berbagai standardisasi, baik nasional maupun internasional, termasuk dua peraturan BPOM tadi dan SNI. "Peraturan untuk pemasan pangan sangat rigid dan banyak," katanya.
Peraturan tersebut mengatur zat kimia atau senyawa apa saja yang boleh kontak terhadap pangan, boleh kontak dengan persyaratan minimum, dan dilarang kontak. Untuk mengetahui zat apa saja yang dilarang kontak dengan pangan, maka dilakukan uji migrasi logam berat. Senyawa logam berat itu adalah timbal, kadmium, raksa, dan arsenik.
Mengenai uji migrasi senyawa yang boleh kontak dengan pangan beserta persyaratan minimum, menurut Taufiq, perlu disesuaikan dengan materialnya. Dia mencontohkan, Air Minum dalam Kemasan (AMDK) kemasan Polikarbonat (PC) memiliki senyawa bernama Bisphenol A, yang berpotensi mencemari isinya dalam keadaan tertentu. "Artinya, sifat karsiogenik ini akan timbul dalam kondisi tertentu, seperti jika berada pada suhu tinggi" ujar Taufiq.
Taufiq melanjutkan, dalam pengujian dan/atau sertifikasi air minum dalam kemasan, proses tersebut berjalan ketika produk sudah dikemas dan dibawa atau diserahkan ke laboratorium. "Ketika produk sudah jadi atau end product, baru diuji," ujarnya. Hasil pengujian dan sertifikasi ini tidak berlaku apabila isi dalam kemasan sudah bertambah, bercampur dengan zat lain, atau berisi konten baru.
<!--more-->
Ahli Teknologi Polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan Kepala Center for Sustainability and Waste Management, Mochamad Chalid mengatakan, dalam konteks air minum dalam kemasan, problem yang dihadapi dalam menjaga kualitasnya adalah soal berulangnya pemakaian kemasan. “Masalahnya di sini adalah keberulangan yang membuka potensi leaching (proses ekstraksi zat dari padatan yang larut ke dalam cairan) terjadi dengan stimulasi air dan suhu tinggi," katanya. Pada dasarnya, Chalid menjelaskan, air itu sendiri tidak dengan mudah leaching, kecuali ada stimulasi suhu tinggi. “Maka tidak aman kalau penggunaannya tidak sesuai spesifikasi atau ketentuan.”
Sementara dari sisi penanganan paskakonsumsi, Chalid mengatakan, PET memiliki tingkat daur ulang hingga 93 persen, sehingga dapat didaur ulang secara berkali-kali dan menjadi produk lain, seperti geotextile (terpal), dakron untuk bantal, karpet, dan pakaian. “Plastik tidak didesain untuk meluruh melainkan daur ulang," kata Chalid. Sampah botol air mineral dari PET dapat dicacah menjadi wadah makanan dan minuman.
Jepang telah beralih sepenuhnya ke plastik PET untuk memenuhi kebutuhan kemasan. Begitu juga negara-negara lain yang mulai mengubah kebijakan penggunaan polikarbonat untuk kemasan pangan. Contoh, negara bagian California, Amerika Serikat, mewajibkan produsen mencantumkan label ‘kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan sistem reproduksi’. Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman untuk usia 0-3 tahun.
Senada dengan Chalid, Muhammad Taufiq mengatakan, kemasan PET paskakonsumsi dapat dipilah, dikumpulkan, dan didaur ulang. Kemasan PET diolah kembali menjadi bijih plastik kemudian menjadi botol lagi untuk wadah air minum dalam kemasan. Namun demikian, tetap ada persyaratan tertentu dalam proses daur ulang hingga menjadi produk siap pakai. Sementara material polikarbonat kini mulai digunakan sebagai bahan alternatif atau pengganti kaca.
Taufiq mengatakan, masyarakat dapat membedakan kemasan plastik PET dengan polikarbonat secara kasat mata. Kedua jenis plastik ini sama-sama memiliki karakteristik bening dan berkilap. Perbedaannya, sifat PET lebih fleksibel, sedangkan polikarbonat lebih keras. (*)
#PilahYangBaik #UntukLingkunganIndonesia