Lagi-lagi Kepala Daerah Tersandung Kasus Suap Jual Beli Jabatan, Apa Alasannya?

Senin, 15 Agustus 2022 15:45 WIB

Ketua KPK Firli Bahuri (tengah bawah) menghadirkan tersangka selaku Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo (tengah atas) dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat, 12 Agustus 2022. Dari hasil kegiatan tangkap tangan pada Kamis 11 Agustus 2022, Barang bukti yang diamankan antara lain uang tunai Rp 136 juta, tabungan berisi Rp4 miliar, slip setoran bank Rp680 juta, serta kartu atm. ANTARA/Sigid Kurniawan

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK awal Januari lalu mengungkapkan sebanyak 430 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, sepersepuluh di antaranya diciduk lantaran terlibat dugaan suap jual-beli jabatan. Bahkan, hingga pertengahan Agustus 2022, setidaknya ada delapan kasus korupsi baru lagi yang melibatkan kepala daerah. Termasuk kasus dugaan praktik suap lelang jabatan.

Lalu, mengapa praktek jual beli jabatan ini menjadi ‘lumrah’ di lingkungan kepala daerah? Yang terbaru misalnya, Jumat, 12 Agustus 2022 lalu KPK menciduk Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo (MAW). Dia diduga melakukan praktik jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, usai dilantik menjadi bupati.

Menurut KPK, Mukti Agung diduga menerima uang hasil jual-beli jabatan tersebut hingga Rp 4 miliar. Uang tersebut diterima dari sejumlah Aparatur Sipil Negara atau ASN dan pihak lainnya yang ingin menduduki jabatan tinggi. “Bupati juga diduga menerima uang dari pihak swasta sekitar Rp 2,1 miliar,” Ketua KPK Firli Bahuri.

Mengutip Koran Tempo edisi 10 Januari 2022, Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK sudah mendorong agar pengisian jabatan di daerah agar berdasarkan merit alias kecakapan perorangan. Salah satunya dengan mewajibkan pemerintah daerah menetapkan manajemen Pegawai Negeri Sipil atau PNS yang mengikuti seleksi jabatan untuk menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara negara (LHKPN) ke KPK, serta aturan daerah untuk pengendalian gratifikasi.

Tak hanya di lingkungan pemerintah daerah, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, seleksi jabatan berbasis kecakapan sebenarnya wajib diterapkan di berbagai instansi pemerintah. Untuk jabatan tinggi di instansi, misalnya, harus ada proses lelang jabatan bertahap, dari seleksi administrasi hingga wawancara. Semua tahapan ini dilakukan oleh panitia seleksi yang independen. Namun, walau sudah diatur di dalam UU ASN, kata Ali Fikri, masih banyak celah yang dimanfaatkan kepala daerah untuk memalak peserta seleksi.

Advertising
Advertising

Menurut Ali Fikri, intervensi kepala daerah tersebut tetap bisa dilakukan kepada para panitia seleksi. Bahkan, andai intervensi gagal, kepala daerah masih bisa memalak lagi saat proses seleksi selesai. Sebab, panitia seleksi biasanya memilih tiga nama, kemudian dikirim ke Komisi Aparatur Sipil Negara untuk diberi rekomendasi. Ujung-ujungnya satu nama yang terpilih untuk menjabat kepala dinas tetap harus atas persetujuan kepala daerah. Di sinilah celah suap kembali terbuka.

Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, manajemen pegawai negeri berbasis merit ternyata masih menimbulkan kebocoran. Salah satu penyebabnya adalah unsur hierarki. Apalagi untuk kepala daerah yang sudah lama menjabat. Mereka memiliki jaringan yang memudahkannya untuk berbuat korupsi. “Semua pegawai di daerah itu tunduk pada atasannya dan atasan yang tertinggi adalah kepala daerah, sehingga sangat mudah diintervensi dalam proses ini,” kata Egi.

Selain itu, biaya politik yang mahal, kata Egi, menjadi salah faktor kepala daerah mencari pundi-pundi uang sebanyak- banyaknya. Saat menjabat, jualan kursi eselon bisa jadi alternatif untuk mengembalikan modal selama pemilihan kepala daerah. Adapun jabatan yang diperjualbelikan juga beragam, dari kepala dinas, kepala desa, kepala sekolah, hingga menempatkan seseorang sebagai tenaga kontrak di sebuah instansi.

Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto mengatakan jual beli jabatan tidak hanya menguntungkan kepala daerah. Pegawai negeri yang menyuap juga mendapatkan keuntungan dari jabatan tersebut, meski harus mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah, bahkan miliaran. Pegawai negeri saling sikut ingin mendapat jabatan karena merasa terhormat dan tunjangan yang tinggi. Jadi mereka tidak segan untuk membeli jabatan. Menurut Agus, meski sistem manajemen ASN di atas kertas sudah seharusnya menghasilkan pejabat yang berkualitas, pada kenyataannya sistem itu sulit diterapkan sepenuhnya. “Ini masalah integritas,” kata dia.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Baca: KPK Geledah Kantor Bupati Pemalang Cari Bukti Kasus Suap

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Berita terkait

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Sudah Dua Kali Mangkir, KPK: Penyidik Bisa Menangkap Kapan Saja

4 jam lalu

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Sudah Dua Kali Mangkir, KPK: Penyidik Bisa Menangkap Kapan Saja

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan jemput paksa terhadap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor tak perlu harus menunggu pemanggilan ketiga.

Baca Selengkapnya

Nurul Ghufron Permasalahkan Masa Daluwarsa Kasusnya, Eks Penyidik KPK: Akal-akalan

1 hari lalu

Nurul Ghufron Permasalahkan Masa Daluwarsa Kasusnya, Eks Penyidik KPK: Akal-akalan

Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai Nurul Ghufron seharusnya berani hadir di sidang etik Dewas KPK jika merasa tak bersalah

Baca Selengkapnya

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

1 hari lalu

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengaku tidak mengetahui ihwal penyidik meminta Bea Cukai untuk paparan dugaan ekspor nikel ilegal ke Cina.

Baca Selengkapnya

Alexander Marwata Benarkan Pernyataan Nurul Ghufron Soal Diskusi Mutasi ASN di Kementan

2 hari lalu

Alexander Marwata Benarkan Pernyataan Nurul Ghufron Soal Diskusi Mutasi ASN di Kementan

Alexander Marwata mengaku membantu Nurul Ghufron untuk mencarikan nomor telepon pejabat Kementan.

Baca Selengkapnya

IM57+ Nilai Nurul Ghufron Panik

2 hari lalu

IM57+ Nilai Nurul Ghufron Panik

Nurul Ghufron dinilai panik karena mempermasalahkan prosedur penanganan perkara dugaan pelanggaran etiknya dan menyeret Alexander Marwata.

Baca Selengkapnya

KPK Bilang Kasus SYL Berpotensi Meluas ke TPPU, Apa Alasannya?

2 hari lalu

KPK Bilang Kasus SYL Berpotensi Meluas ke TPPU, Apa Alasannya?

Menurut KPK, keluarga SYL dapat dijerat dengan hukuman TPPU pasif jika dengan sengaja turut menikmati uang hasil kejahatan.

Baca Selengkapnya

Seleksi CPNS Diminta Ditunda hingga Usai Pilkada, Rentan Menjadi Komoditas Politik

2 hari lalu

Seleksi CPNS Diminta Ditunda hingga Usai Pilkada, Rentan Menjadi Komoditas Politik

Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menyarankan agar rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) ditunda hingga Pilkada selesai.

Baca Selengkapnya

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Mangkir tanpa Alasan, KPK: Praperadilan Tak Hentikan Penyidikan

2 hari lalu

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Mangkir tanpa Alasan, KPK: Praperadilan Tak Hentikan Penyidikan

KPK mengatakan, kuasa hukum Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor seharusnya berperan mendukung kelancaran proses hukum.

Baca Selengkapnya

Nurul Ghufron Sebut Nama Pimpinan KPK Lainnya Dalam Kasus Mutasi Pegawai Kementan

3 hari lalu

Nurul Ghufron Sebut Nama Pimpinan KPK Lainnya Dalam Kasus Mutasi Pegawai Kementan

Nurul Ghufron menyebut peran pimpinan KPK lainnya dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik yang menjerat dirinya.

Baca Selengkapnya

Usai Tak Hadiri Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Gugatan ke PTUN Bentuk Pembelaan

3 hari lalu

Usai Tak Hadiri Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Gugatan ke PTUN Bentuk Pembelaan

Wakil KPK Nurul Ghufron menilai dirinya menggugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta bukan bentuk perlawanan, melainkan pembelaan diri.

Baca Selengkapnya