KPU Jawab Kegusaran soal Pemerintahan Jokowi Jadi Bebek Lumpuh Usai Pilpres 2024
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Amirullah
Rabu, 6 Juli 2022 20:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari tak sependapat dengan kegusaran sejumlah pihak soal jeda 8 bulan Pilpres 2024 dan pelantikan presiden akan melahirkan dualisme kepemimpinan nasional. Termasuk, kekhawatiran jeda yang terlalu lama ini akan menjadikan pemerintahan akhir Presiden Joko Widodo atau Jokowi bak lame duck atau bebek lumpuh.
"Saya kira nggak lah, yang namanya pemegang kekuasaan secara legal dan konstitusional pasti presiden eksisting, pengalaman yang lalu juga sudah terbukti," kata Hasyim usai rombongan KPU bertemu Menteri Komunikasi Johnny G Plate di Kantor Kementerian Komunikasi, Jakarta, Rabu, 6 Juli 2022.
Pemilu Presiden (Pilpres) akan digelar 14 Februari 2024 dan pelantikan presiden terpilih akan dilakukan 20 Oktober di tahun yang sama, atau 8 bulan kemudian. Hasyim menyebut konsekuensi baru justru lahir ketika Pilpres digelar di akhir atau mendekati pelantikan, yaitu presiden terpilih kehilangan start atau langkah awal untuk membicarakan anggaran yang akan membiayai janji kampanyenya di 2025.
Sebab di Indonesia, pembahasan APBN tahun berikutnya antara pemerintah dan DPR sudah dimulai satu tahun sebelumnya. Justru dengan Pemilu digelar lebih awal, Hasyim menyebut pemenang bisa diketahui dan tim transisi bisa dibentuk antara presiden terpilih dan presiden eksisting untuk membahas program 2025.
"Kalau nggak, yakinlah dalam durasi 5 tahun, akan kehilangan satu tahun, enggak bisa ngapa-ngapain karena enggak ada dukungan anggaran yang berbasis kepada janji kampanye presiden terpilih," kata Hasyim.
Selanjutnya: Dualisme Kepemimpinan
<!--more-->
Sebelumnya, kegusaran ini disampaikan sejumlah pihak, dari pimpinan partai politik hingga akademisi. Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengkhawatirkan jeda waktu yang panjang itu bisa memunculkan dualisme kepemimpinan nasional.
"Presiden terpilih dari Pilpres 2024 akan menjadi magnet bagi semua kekuatan politik. Sebaiknya kita berikan kesempatan yang baik dan penuh bagi Presiden Joko Widodo untuk bekerja sampai masa jabatannya berakhir," kata Fahri dalam diskusi, 24 Juni 2022.
Ia khawatir jeda waktu ini akan membuyarkan konsentrasi pemerintahan Jokowi. Oleh karena itu, ia berharap publik dan seluruh jajaran pemerintahan agar dapat memastikan pemerintahan Jokowi dapat berjalan dengan baik hingga masa jabatannya berakhir.
Dalam dunia politik, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas menyebut jeda waktu yang panjang antara munculnya hasil Pilpres dengan pelantikan presiden terpilih di berbagai negara akan melahirkan periode lame duck tersebut.
Periode lame duck, lanjut Sirojudin, juga bisa menimbulkan konsekuensi lunturnya pengaruh presiden petahana di kalangan birokrasi. Dengan demikian, Sirojudin mengungkapkan bahwa ide memperpendek periode tersebut patut dipertimbangkan.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto juga berpandangan bahwa jeda ini juga akan berdampak pada efektivitas jalannya pemerintahan Jokowi. Menurut dia, hasil Pilpres, maupun Pemilu Legislatif (Pileg) akan membuat siapa pun peserta kontestasi, baik partai politik maupun politisi, akan sibuk mengamankan keberlangsungan jejak politik mereka.
"Terbuka juga kemungkinan bahwa hasil Pileg akan memunculkan situasi riil yang berbeda dari konstelasi politik yang terbentuk pra-pemilu 2024," kata Hery.
Senada dengan Sirojudin, cendekiawan muslim Azyumardi Azra menyatakan jeda waktu yang lama dari Pilpres hingga pelantikan presiden terpilih menjadikan presiden yang sedang menjabat seperti bebek lumpuh. "Yang dimaksud di sini sebagai bebek lumpuh, adalah presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis, karena sudah ada presiden dan wakil presiden baru, meskipun belum dilantik," kata Azyumardi.
Selanjutnya: Pengalaman SBY
<!--more-->
Azyumardi Azra sepakat jeda waktu usai Pilpres 2024 ini cukup lama. Keanehan yang terbentuk, kata dia, adalah Indonesia seakan memiliki dua presiden, yakni presiden yang masih menjabat dan presiden terpilih hasil pemilu.
Apalagi, lanjut Azyumardi, apabila pascapemilu terjadi gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK mengesahkan terpilihnya presiden dan wakil presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi. Sebaliknya, untuk presiden yang sedang menjabat, akan semakin menjadi bebek lumpuh.
Situasi semacam itu, kata Azyumardi, akan mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama delapan bulan, atau bisa juga berpotensi terjadi disorientasi pemerintahan. Namun, Azyumardi menyadari keputusan itu susah diubah. Sehingga hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen hasil Pileg 2024.
Adapun pada Pilpres 2019, peralihan kekuasaan tidak berubah karena Jokowi terpilih untuk kedua kalinya. Tapi beda kondisi dengan Pilpres 2014, di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY digantikan oleh Jokowi yang berasal dari partai oposisi saat itu, PDI Perjuangan.
Saat itu, jeda waktu antara Pilpres dan pelantikan hanya berselang tiga bulan saja. Pilpres digelar 9 Juli 2014, lalu KPU menetapkan pasangan terpilih Jokowi - Jusuf Kalla sebagai pemenang pada 22 Juli 2014. Barulah, Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik pada 20 Oktober 2014.
Kendati hanya terpaut tiga bulan, masalah terjadi terutama berkaitan dengan tim transisi. Kala itu, SBY menegur tim transisi pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla yang langsung masuk ke tiap kementerian tanpa ada koordinasi. Konsep transisi yang digadang, menurut SBY, tak berarti membuat ada dua pemerintahan bersama di masa peralihan kepemimpinan.
"Pemerintahan sekarang adalah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) hasil Pemilihan Umum 2009. Sampai 20 Oktober 2014 yang berkaitan dengan pemerintahan adalah saya yang bertanggung jawab," kata SBY dalam rapat kabinet paripurna di Istana Presiden, Jumat, 5 September 2014.
Ia menyatakan pemerintahan KIB II memang berkomitmen membantu presiden terpilih memulai pemerintahan selanjutnya. Komitmen ini didasarkan pada pengalaman tak terjadinya transisi pemerintahan pada 2004 dari Megawati Soekarnoputri ke SBY. Namun, SBY tak setuju adanya proses transisi yang tanpa koordinasi.
Melalui Sekretaris Kabinet Dipo Alam, SBY saat itu meminta tim transisi Jokowi untuk berkoordinasi lebih dulu dengan Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.
Koordinasi juga penting karena proses komunikasi yang terjadi antara tim transisi Jokowi dan kementerian selama ini menimbulkan banyak kebingungan dan salah paham. SBY mengklaim kerap mendapat aduan dari kementerian dan lembaga yang tak mengerti harus berbuat apa terhadap permintaan tim transisi.
SBY mengklaim, melalui pesan singkat, dia mendapat laporan dari anggota kabinet dan lainnya tentang undangan sejumlah tim yang mengatasnamakan tim transisi. Namun, materi dan pembahasan kurang relevan karena menjadi masalah pemerintahan KIB II. "Kalau membahas apa yang masih jadi tanggung jawab pemerintahan sekarang, berarti masih tanggung jawab saya. Ini kurang tepat," kata SBY.
FAJAR PEBRIANTO | ANT
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.