Relasi Koalisi dan Oposisi Politik dalam Perombakan Kabinet Jokowi

Reporter

Tempo.co

Editor

Dwi Arjanto

Kamis, 16 Juni 2022 22:27 WIB

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) bertumpu tangan dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kiri) dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa pada acara silaturahmi Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) di Plataran Senayan, Jakarta, Sabtu, 4 Juni 2022. Kegiatan silaturahmi nasional itu merupakan sebuah ikhtiar partai-partai KIB yaitu Partai Golkar, PAN, dan PPP untuk menunjukkan tradisi politik yang baru. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan resmi dilantik Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) menggantikan Muhammad Lufti pada Rabu, 15 Juni 2022 yang artinya membawa secara resmi gerbong baru ke koalisi.

PAN sendiri bergabung dengan koalisi partai politik pendukung Jokowi pada 2021 lalu. Hal ini ditandai dengan hadirnya PAN dalam rapat pimpinan partai koalisi bersama Jokowi pada Rabu, 25 Agustus 2021.

Membahas soal koalisi, pembentukan koalisi maupun oposisi partai politik sebenarnya hanya terdapat dalam sistem pemerintahan parlementer. Keduanya menjalankan fungsi pengawasan dan penyeimbangan atau check and balances.

Koalisi berwenang membentuk kabinet untuk menjalankan pemerintahan. Sementara oposisi berwenang menjalankan fungsi pengawasan terhadap kabinet bentukan koalisi.

Lalu, bagaimana sistem koalisi dan oposisi ini dapat diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial, seperti Indonesia?

Menurut Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar atau UUD 1945, Indonesia menganut sistem multipartai.

Dikutip dari jurnal Universitas Sebelas Maret, berdasarkan hasil kajian Garda Bangsa, secara teori, sistem presidensial dianggap tidak kompatibel dengan sistem kepartaian majemuk atau multipartai.

Alasannya, karena ketiadaan partai mayoritas di badan legislatif, sistem multipartai memungkinkan adanya koalisi pemerintahan. Padahal koalisi sendiri seharusnya hanya terdapat di sistem parlementer.

Lalu apa kekurangan penerapan koalisi dan oposisi di pemerintahan presidensial?

Penerapan sistem koalisi dan oposisi dapat menyebabkan terjadinya kompromi kekuasaan antara Presiden dengan koalisi pendukung. Koalisi juga dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Sehingga roda pemerintahan kurang efektif.

Berikutnya: Multipartai dapat menimbukan pengkotak-kotakan
<!--more-->

Selain itu, multipartai dapat menimbulkan pengkotak-kotakan kekuasaan di dalam legislatif. Kondisi ini akan melemahkan sistem pemerintahan dan menimbulkan perpecahan antara eksekutif dan legislatif.

Advertising
Advertising

Sistem multipartai dalam sistem pemerintahan presidensial dapat pula menimbulkan suatu kompensasi untuk pemerintahan. Di mana akan terjadi kontrak politik antara koalisi pendukung pemerintahan dengan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung. Pembagian jatah kursi kementerian akan menjadi suatu hal yang menarik untuk dijadikan tawar menawar dalam kontrak politik tersebut.

Sistem multipartai dalam sistem pemerintahan presidensial dapat berjalan dengan baik apabila partai pendukung presiden juga menguasai parlemen, di mana hal itu akan memberikan perlindungan terhadap pemerintah untuk pelaksanaan fungsi check and balances di antara pihak eksekutif dan legislatif.

Lebih lanjut, merujuk kajian Garda Bangsa dari berbagai sumber kepustakaan, ada beberapa faktor yang membuat presidensialisme multipartai dapat berjalan efektif. Pertama, kekuasaan presiden dan DPR dalam konstruksi konstitusi sama-sama kuat.

Kedua, adanya mekanisme persetujuan bersama antara presiden dengan DPR. Ketiga, organisasi dan proses pengambilan keputusan di DPR, yang sebagian besar mengharuskan keterlibatan pemerintah, selalu membuka jalan bagi terjadinya kompromi antara pemerintah dan DPR.

Keempat, adanya tradisi konsensus dalam pengambilan keputusan.
Kelima, kapasitas kelembagaan DPR yang masih berada di bawah kapasitas kelembagaan eksekutif.

Serta, keenam, adanya forum lobi dan konsultasi sebagai mekanisme informal, yang menjembatani konflik-konflik ranah formal dalam proses pengambilan keputusan.

Regulasi koalisi partai di Indonesia tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Menurut publikasi di Jurnal Hukum Magnum Opus, jika suatu partai politik ingin mencalonkan kepala daerah tetapi tidak memiliki jumlah kursi DPRD minimal yang disyaratkan undang-undang, maka dapat membangun koalisi dengan partai politik lainnya.

Oleh sebab itu, mekanisme penggabungan atau koalisi partai politik menjadi suatu bagian sangat penting dalam proses memenangkan pemilu.

HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca : Gerindra Mengaku Hingga Kini Belum Ada Ajakan Berkoalisi

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Berita terkait

Sikap PDIP dan Demokrat Soal Perlunya Oposisi di Pemerintahan Prabowo

8 jam lalu

Sikap PDIP dan Demokrat Soal Perlunya Oposisi di Pemerintahan Prabowo

Demokrat menilai perlu ada partai yang menjadi oposisi di pemerintahan baru agar terjadi mekanisme checks and balances.

Baca Selengkapnya

Koalisi Desak Perbankan Setop Investasi ke Energi Kotor dan Segera Beralih ke EBT

23 jam lalu

Koalisi Desak Perbankan Setop Investasi ke Energi Kotor dan Segera Beralih ke EBT

Koalisi organisasi masyarakat sipil mendesak agar kalangan perbankan berhenti memberikan dukungan pendanaan energi kotor seperti batu bara.

Baca Selengkapnya

PKB Bahas Koalisi dengan PKS untuk Pilkada 2024 di Kota Depok

1 hari lalu

PKB Bahas Koalisi dengan PKS untuk Pilkada 2024 di Kota Depok

PKS Kota Depok membuka peluang bagi partai politik untuk bergabung pada Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Alasan Gerindra Jajaki Koalisi dengan Golkar pada Pilkada 2024 di Kabupaten Bogor

2 hari lalu

Alasan Gerindra Jajaki Koalisi dengan Golkar pada Pilkada 2024 di Kabupaten Bogor

Dengan perolehan 12 kursi di Pileg, Gerindra bisa mengusung pasangan calon sendiri di Pilkada 2024 Kabupaten Bogor.

Baca Selengkapnya

Nasdem, PKS, dan Perindo Jajaki Koalisi pada Pilkada 2024 di Sulsel

2 hari lalu

Nasdem, PKS, dan Perindo Jajaki Koalisi pada Pilkada 2024 di Sulsel

Nasdem Sulsel menyatakan komunikasi politik tetap terbuka dengan partai lain guna menghadapi Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Ragam Pendapat Soal Pentingnya Oposisi di Pemerintahan Prabowo-Gibran

4 hari lalu

Ragam Pendapat Soal Pentingnya Oposisi di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Sejumlah kalangan menilai DPR membutuhkan partai oposisi untuk mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Baca Selengkapnya

Pakar Ekonomi Ingatkan Bahayanya Kabinet Koalisi Besar Prabowo-Gibran

4 hari lalu

Pakar Ekonomi Ingatkan Bahayanya Kabinet Koalisi Besar Prabowo-Gibran

Pakar menilai kabinet koalisi Prabowo yang besar akan menguntungkan bagi pemerintahan, tetapi jadi indikasi lumpuhnya check and balances di parlemen

Baca Selengkapnya

Enggan Tanggapi Penolakan Gelora, PKS Masih Tunggu Majelis Syura soal Sikap Politik

4 hari lalu

Enggan Tanggapi Penolakan Gelora, PKS Masih Tunggu Majelis Syura soal Sikap Politik

PKS memilih tak menggubris pernyataan Partai Gelora yang menolak rencana mereka bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran

Baca Selengkapnya

Demokrat Siapkan Tiga Nama Kader Senior Maju di Pilkada Jakarta

5 hari lalu

Demokrat Siapkan Tiga Nama Kader Senior Maju di Pilkada Jakarta

Demokrat siapkan tiga nama kader senionya maju di Pilkada Jakarta.

Baca Selengkapnya

Para Politikus PKS Ini Balas Partai Gelora soal Gabung Prabowo-Gibran

6 hari lalu

Para Politikus PKS Ini Balas Partai Gelora soal Gabung Prabowo-Gibran

Partai Gelora menolak PKS jika bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, karena dinilai selalu 'menyerang' saat masa kampanye Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya