Pakar Politik Nilai Reshuffle Kabinet Hanya Politik Akomodasi Jokowi
Reporter
Tempo.co
Editor
Juli Hantoro
Kamis, 16 Juni 2022 12:42 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gonjang-ganjing soal reshuffle kabinet Jokowi telah usai. Kemarin, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan dua nama menteri dan tiga wakil menteri baru di Kabinet Indonesia Maju.
Dua nama menteri yang diganti adalah Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. Lutfi diganti Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sedangkan Sofyan Djalil diganti mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto.
Pergantian dua menteri itu menepis spekulasi yang sebelumya beredar tentang beberapa menteri lain yang juga bakal digeser atau diganti posisinya.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai perombakan kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi itu bukanlah untuk meningkatkan kinerja pemerintah, namun lebih kepada akomodasi politik.
"Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi jelas lebih berorientasi politik akomodasi daripada meningkatkan kinerja pemerintahan," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 16 Juni 2022.
Menurutnya reshuffle itu hanya untuk memberi ruang pada elite politik dan hanya sebagai representasi partai pendukung.
Artinya, tambah Umam, saat ini ada 24 dari 50 pos Menteri dan Wakil Menteri, yang agregatnya 49% posisi kabinet diisi oleh kader partai politik. Terlebih, jejak para Menteri yang dilantik tidaklah merepresentasikan keahlian mereka pada jabatannya.
"Koreksi atas kinerja menteri praktis hanya dilakukan pada M. Lutfi di posisi Mendag. Selebihnya, Sofyan Djalil adalah orangnya Jusuf Kalla yang bisa anytime diganti untuk memberi ruang pada elite partai politik, dan 3 wakil menteri lainnya adalah representasi partai pendukung," ujar Umam.
Dia mengatakan, perhitungan atau penilaian politik lebih utama ketimbang dari segi kinerja. "Hal ini menegaskan, kalkulasi politik lebih utama dibanding kalkulasi kinerja," katanya.
Umam mengatakan, reshuffle mini yang dilakukan Jokowi hanyalah akal-akalan Istana yang ingin menunjukkan citra baik di hadapan publik pada koalisi Kabinet Indonesia Maju ini.
Istana, kata dia, ingin menunjukkan tidak adanya faksionalisme dan perpecahan koalisi pada Kabinet Jokowi-Ma'ruf. Apalagi setelah isu keretakan hubungan antara Jokowi dan Megawati.
"Sehingga seremoni pertemuan pimpinan parpol pendukung dan kedekatan Jokowi-Mega lah yang hendak ditunjukkan," ujarnya.
Menurut Umam hal ini menjawab keresahan sejumlah partai yang jatah kursinya terancam dikurangi. Ia pun mencermati hal itu mengindikasikan tidak siapnya Jokowi berkonfrontasi terbuka dengan partai-partai pendukungnya.
"Langkah ini sekaligus menjawab kegelisahan sejumlah partai seperti Nasdem dan PKB yang merasa terancam jatah kursi menterinya karena sempat dikabarkan akan dikurangi," ujar Umam.
Ia juga menilai bahwa Presiden Jokowi ingin menjaga loyalitas para menteri dan pendukungnya yang sibuk memikirkan 2024, mengingat saat ini decaying period atau menurunnya pengaruh dan kekuasaan Presiden sedang terjadi pada masa jabatannya.
"Presiden ingin menjaga loyalitas para menteri dan partai pendukungnya yang sudah mulai sibuk memikirkan kontestasi 2024, akan, say good bye Mr. President," katanya.
Baca juga: Sehari Sebelum Reshuffle Surya Paloh Bertemu Jokowi
RAHMA DWI SAFITRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini