Cerita Keluarga Korban 1965 yang Masih Merasakan Diskriminasi dalam Pekerjaan
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Syailendra Persada
Sabtu, 2 April 2022 08:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bedjo Untung mengatakan para keluarga korban 1965 masih banyak mengalami diskriminasi di berbagai profesi. Menurut dia, hal itu terjadi sejak 1975 saat dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 28 oleh Presiden Suharto.
Bedjo menjelaskan bahwa aturan itu mengklasifikasikan tahanan politik termasuk keluarga, anaknya, dan sebagainya, ada golongan C, B, serta A. “Klasifikasi ini berimplikasi pada orang-orang yang diduga ditangkap, bahkan tidak boleh masuk pegawai negeri, tentara maupun polisi,” ujar dia saat dihubungi pada Jumat, 1 April 2022.
Dia menceritakan kasus di mana salah satu anggota korban 1965 yang pernah mendaftar ke Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah. Namun, begitu sampai di sana untuk mengikuti pelatihan, yang bersangkutan dipecat karena kakeknya termasuk orang yang pernah menjadi tahanan politik. “Itu sangat-sangat mengecewakan,” tutur dia.
Jadi secara hukum, kata dia, keturunan PKI itu memang tidak boleh menjadi pegawai atau anggota di institusi tersebut. Bahkan, teman Bedjo, yang juga korban 1965 lainnya bernama Tristuti yang baru pulang dari Pulau Buru tidak boleh mendalang.
“Dia profesinya dalang tapi dia tidak boleh mendalang, bayangkan, jadi dokter juga, perawat dan bagian medis itu tidak boleh. Jadi peraturan-peraturan diskriminasi ini harus dihilangkan,” ungkap Bedjo.
Menurut dia, secara formal masih ada hal-hal seperti itu. Hanya saja, para korban 1965 perlu hidup. “Saya saja punya istri anak tahanan politik tapi dia bisa jadi pegawai negeri, caranya ya kita musti bilang sebagai anaknya si A atau si B, anaknya lurah sehingga aman,” kata dia.
Bedjo meminta kepada negara untuk memberikan keputusan yang adil terhadap keluarga korban 1965. Karena, para keluarga, anak dan cucu yang saat ini masih hidup tidak ada keterkaitan dan tidak ada sangkut-paut dengan orang tuanya, bahkan tidak memiliki kesalahan.
“Jadi jangan sampai kesalahan orang tua dilimpahkan kepada anak cucunya. Pahadal lagi orang tua kita ini juga belum tentu salah, mereka di buang ke Pulau Buru dan tidak pernah diadili, jadi itu tidak adil, sama saja melanggar HAM,” tuturnya.
Namun, pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang memperbolehkan keturunan PKI mengikuti tes penerimaan prajurit TNI tahun 2022 merupakan kabar yang menggembirakan. “Saya langsung sebarkan ke teman-teman korban 65 dan keluarganya. Dan umumnya kami menyambut baik pernyataan Panglima,” ujarnya.
Menurut dia, selain menjadi kabar yang menggembirakan, keputusan itu sedikit menghapuskan diskriminasi. “Saya mengucapkan terimakasih yanhg sebesar-besarnya kepada Bapak Panglima, sehingga anak cucu dari orang-orang yang diketahui sebagai anggota PKI itu bisa menjadi TNI,” katanya.
Sebelumnya, Panglima Jenderal Andika Perkasa mengizinkan keturunan PKI untuk mendaftar menjadi prajurit TNI. Ini terlihat dalam penjelasannya di akun YouTube Andika Perkasa. Dia menyebut tidak ada dasar hukum yang melarang keturunan PKI untuk bisa mendaftar. "Zaman saya tak ada lagi keturunan dari apa, tidak, karena saya gunakan dasar hukum," tutur dia di akun YouTube-nya, Rabu, 30 Maret 2022.