Wahid Foundation: Pemaknaan Terminologi Islamofobia Perlu Dijernihkan
Reporter
Antara
Editor
Kukuh S. Wibowo
Jumat, 11 Februari 2022 19:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengatakan perlu ada penjernihan pemahaman pada masyarakat dalam memaknai terminologi Islamofobia, yaitu ketakutan sangat berlebihan terhadap Islam atau penganut Islam. Terminilogi itu, kata Mujtaba, sering dipakai oleh oknum tidak bertanggungjawab untuk memojokkan pemerintah dan memecah belah umat.
"Islamofobia ini deskripsi sosiologis terhadap gejala, bagaimana orang-orang mayoritas Barat memandang Islam sebagai ancaman. Islamofobia tidak ada di Indonesia. Ini kekeliruan representasi,” kata pimpinan Wahid Foundation itu dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, 11 Februari 2022.
Menurut Mujtaba, fenomena Islamofobia muncul akibat sebagian kecil kelompok muslim menyalahgunakan ajaran agama Islam untuk melakukan tindak kekerasan dan kebencian terhadap mereka yang berbeda pandangan. Selain itu, kata dia, ketakutan berlebihan terhadap Islam itu juga dijadikan alasan untuk melakukan teror, sehingga menggeneralisasikan umat Islam sebagai ancaman.
"Di Indonesia, penggunaan term Islamofobia justru bertujuan untuk membela perilaku kekerasan atau kebencian terhadap yang lain, yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam. Jadi ini ada fenomena kebalikan," kata Mujtaba.
Mujtaba menyayangkan fenomena tersebut, terlebih kelompok radikal memang cenderung sering melakukan playing victim ketika dikritik atas tindakan mereka yang menyebarkan kebencian atas nama ajaran agama. "Mereka menggunakan terminologi Islamofobia untuk menjustifikasi kebencian terhadap orang lain. Ketika dikritik (atas perbuatannya), mereka malah playing victim," tuturnya.
Mujtaba menerangkan bahwa sejatinya yang menuai kritik tersebut bukanlah Islam sebagai sebuah agama, namun oknum yang mengatasnamakan Islam. Hal inilah, yang menurutnya, harus dipahami oleh masyarakat. "Bukan Islam-nya, tapi tindakan mereka itulah yang harusnya dikritik," kata Mujtaba.
Mujtaba melihat adanya permainan psikologis yang dimainkan oleh kelompok radikal sebagai upaya untuk menimbulkan perpecahan dan memojokkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat. "Pertama, menggunakan terminologi persatuan umat. Kedua, Islamofobia ini adalah defense mechanism mereka, ketika mereka dikritik atas perbuatannya," tuturnya.
Pola pergerakan kelompok radikal tersebut, lanjutnya, dengan menciptakan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Lalu dilanjutkan dengan meminta pembelaan atas nama kesatuan umat Islam. Puncaknya adalah dengan menganggap siapapun yang tidak membela dan mengkritik adalah Islamofobia.
"Padahal di Indonesia sendiri tidak ada gejala sosial yang merujuk pada praktik Islamofobia. Muslim, sebagai mayoritas, justru sangat difasilitasi oleh negara," jelasnya.
Pemerintah dengan segala sumber daya yang ada, kata Mujtaba, sangat memfasilitasi, baik muslim maupun seluruh penganut agama lain, untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. "Bagaimana Islamofobia kalau pemerintah juga banyak memfasilitasi umat Islam, dari mulai urusan haji, memberi pendanaan untuk tempat ibadah, bahkan pendidikan juga difasilitasi, dan lain sebagainya," tuturnya.
Baca Juga: SBY: Jangan Ada Islamofobia dan Kristenofobia di Indonesia