Program Kampus Merdeka Terbentur Keruwetan Birokrasi di Perguruan Tinggi

Reporter

Dewi Nurita

Jumat, 5 November 2021 08:59 WIB

Kiri ke kanan: Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Nizam dalam konferensi pers usai peluncuran program Merdeka Belajar: Kampus Merdeka di Gedung D, Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 24 Januari 2020. TEMPO/Ahmad Faiz

TEMPO.CO, Jakarta - Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka merupakan salah satu upaya pemerintah membuat lompatan besar di bidang pendidikan. Namun dalam praktiknya, kampus tertatih menyesuaikan dengan kurikulum, budaya dosen, hingga sistem informasi. Program ini masih dibayangi ruwetnya urusan administrasi di perguruan tinggi. Belum lagi, jika berhadapan dengan sebagian dosen yang enggan keluar dari zona nyaman dan memasuki dunia baru pembelajaran yang lebih fleksibel dan adaptif.

Empat kebijakan Kampus Merdeka yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sejak 2020 lalu mencakup; kemudahan membuka program studi baru, perubahan sistem akreditasi kampus, kemudahan status kampus menjadi badan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi. Kebijakan terakhir ini yang banyak dikeluhkan.

Koordinator Isu Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara, Yusuf Al Hakim misalnya, melaporkan bahwa masih banyak mahasiswa yang terkendala dengan konversi SKS usai mengikuti program hak belajar tiga semester di luar program studi.

"Bahkan beberapa menghadapi kendala dalam mengambil mata kuliah di semester berikutnya," ujar Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya ini dalam acara silahturahmi Mendikbudristek dengan 12 orang perwakilan organisasi di kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Senayan, Jakarta, Jumat, 17 September 2021.

Rabu pekan lalu, Ketua Pengurus Yayasan Nurani Dunia, Imam Prasodjo juga masih mengeluhkan hal yang sama. Beberapa mahasiswa yang magang di Kampung Ilmu misalnya, sempat terkendala urusan administratif. Kampung Ilmu merupakan salah satu program naungan yayasan yang kini tengah dibangun di Tegalwaru, Purwakarta, Jawa Barat.

Advertising
Advertising

"Di Kampung Ilmu itu, ada anak elektro mau belajar berkebun, terus dari kampusnya, oh ini harus sesuai, harus linier (dengan program studi). Saya bilang, ini ada penindasan lagi aturan-aturan kurikulum, mesti sesuai jurusan, wong kepengin bebas tapi kampusnya enggak bebas. Harusnya kan dibebaskan aja," ujarnya, Rabu, 27 Oktober 2021.

Wakil Rektor Bidang Akademik, Pengembangan Inovasi, Pengabdian dan Hilirisasi Riset Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Agus Sjafari mengakui kendala dalam program hak belajar tiga semester di luar program studi ini juga sempat dialami kampusnya.

"Awalnya memang sebagian dosen dan ketua program studi itu menganggap harus linier, tapi perlahan diberi pengertian bahwa gunanya Kampus Merdeka itu justru ya disarankan yang tidak linier," ujar Agus saat dihubungi Tempo pada Rabu malam, 3 November 2021.

Kendati demikian, ujar dia, mahasiswa Untirta tetap diarahkan untuk mengambil program yang setidaknya masih memiliki korelasi dengan program studi. Misalnya mahasiswa program studi ilmu sosial bisa mengambil program terkait ilmu ekonomi, karena kedua bidang ilmu itu dianggap masih saling mendukung.

"Jadi bukan tidak linier sama sekali, tetap ada korelasinya. Harus sesuai dengan kebutuhan dari mahasiswa dan menimbang kebutuhan program studi. Sebab, di Prodi kan ada capaian pembelajaran juga," ujar dia. "Lagipula kalau melenceng jauh dan sangat bertolak belakang, menurut saya, mahasiswanya juga akan kesulitan".

Agus menyebut, kampus masih terus mencari formula yang tepat mengatasi berbagai kendala untuk mengupayakan agar kegiatan mahasiswa selama satu semester di luar program studi bisa dikonversi menjadi 20 SKS. "Ya sedikit banyak ada kendala, karena memang ada perbedaan persepsi ketika pada teknis di lapangan soal bagaimana mengkonversi mata kuliah itu. Tapi tentunya, persoalan-persoalan seperti konversi itu, kami cari model yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan di Untirta," ujarnya.

Guru Besar Universitas Indonesia Manneke Budiman menjelaskan, persoalan di kampusnya beda lagi. Menurutnya, masalah di UI lebih pada ketidak-siapan universitas menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan bagi implementasi MBKM. Sistem informasi akademik (SIAK) yang selama ini ada di UI disebut tidak bisa mengakomodasi MBKM yang sangat fleksibel dan multivarian.

"Harusnya dibuat program baru. Tapi bukannya meng-handle masalah itu sebagai prioritas utama, UI malah bikin unit birokrasi baru yang disebut Center for Independent Learning (CIL) untuk menangani MBKM. Ini salah sasaran dan kini malah mengakibatkan saling lempar tanggungjawab dan akhirnya tidak ada yang betul-betul bergerak," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Rabu, 3 November 2021.

Menurutnya, konversi ke SKS program studi masih bisa direkomendasikan. "Tapi masalah di sini kan bukan di Prodi. Kalau ada 4 mahasiswa internship, yang satu total jamnya dikonversi jadi 5 SKS, satu lagi jadi 10 SKS, satu jadi 15 SKS, dan satu lagi jadi 20 SKS, SIAK tidak bisa memproses. Sebab satu nomenklatur (internship) ada beda-beda jumlah SKS. Ini kan soal program IS/IT jadinya. Harusnya ada political will dari pimpinan untuk investasi pemutakhiran IS/IT, ini yang dibutuhkan untuk MBKM yang optimal," tuturnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Nizam mengakui memang banyak kekurangan di sana-sini dalam program Kampus Merdeka. "Sebagai suatu program yang baru, memang saya mengistilahkan itu ibarat sambil berlari, sambil pakai baju, sambil pakai sepatu," ujarnya, Senin, 1 November 2021.

Menurut Nizam, program MBKM tidak bisa berjalan jika harus menunggu infrastruktur dan sumber daya di kampus siap secara keseluruhan. "Kalau kami pakai model lama, atur dulu semua, yakinkan dulu setiap dosen, ubah dulu seluruh kurikulumnya, sampai kabinet ini selesai enggak akan jalan. Tapi ini, langsung dijalankan. Kita mengerjakan sambil belajar," ujarnya.

Guru Besar Fakultas Teknik UGM ini menyebut, tantangan terbesar dalam menjalankan program Kampus Merdeka adalah mengubah mindset dosen dan kampus. Sebagian dosen dinilai masih terbelenggu dalam pola pikir lama yang mewajibkan mahasiswa mengambil seluruh mata kuliah yang ditawarkan oleh dosen. "Semua dosen merasa mata kuliahnya sangat penting, kalau enggak ngambil mata kuliahnya nanti misalnya bakal sulit lulus sebagai sarjana, kan itu mindsetnya yang saat ini ada," ujarnya.

Padahal, lanjut Nizam, data yang dihimpun Kemendikbudristek menunjukkan hanya ada maksimal 20 persen lulusan mahasiswa yang bekerja sesuai dengan program studinya. "Makanya, kampus harus menyediakan menu yang luas untuk mahasiswa memilih, di samping tentunya ilmu-ilmu dasar wajib sesuai Prodi," ujar dia.

Eks Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi ini menyebut, masalah konversi SKS semestinya bisa diselesaikan dengan mudah oleh kampus. "Mengkonversi itu sangat mudah, tapi jadi sulit ketika itu masing-masing dosen ngekepi mata kuliahnya. Kalau satu mahasiswa itu mengambil program 20 SKS, ya sudah tinggal coret mata kuliah pilihan apa yang tidak dia ikuti. Enggak usah pusing mengkonversikan," ujar dia.

Ia mengingatkan bahwa capaian program MBKM dapat diketahui dengan melihat delapan Indikator Kinerja Utama (IKU), yaitu: 1. Lulusan mendapat pekerjaan yang layak; 2. Mahasiswa mendapat pengalaman di luar kampus; 3. Dosen berkegiatan di luar kampus; 4. Praktisi mengajar di dalam kampus; 5. Hasil kerja dosen digunakan oleh masyarakat; 6. Program studi bekerja sama dengan mitra kelas dunia; 7. Kelas yang kolaboratif dan partisipatif; 8. Program studi berstandar internasional.

"Nah, kalau selama program itu mendukung kompetensi nomor satu yakni mahasiswa bisa mendapat pekerjaan yang layak ketika dia lulus, ya sudah, berarti sesuai dengan capaian pembelajaran. Jadi yang dikonversi itu kompetensinya," ujar Nizam.

Ia berharap kampus bisa berupaya membuat sistem yang fleksibel dan adaptif untuk mendukung program Merdeka Belajar Kampus Merdeka ini. "Kalau semua mau dicocokkan ke program studinya, ya enggak akan ada yang masuk, wong namanya Kampus Merdeka, pasti kemungkinan besar tidak ada di program studinya," ujar Nizam.


DEWI NURITA

Baca: Kata Kemendikbudristek soal Uang Saku Mahasiswa Magang Kampus Merdeka Belum Cair

Berita terkait

Mengenal IHA, Badan Baru yang Diluncurkan Kemendikbudristek

19 jam lalu

Mengenal IHA, Badan Baru yang Diluncurkan Kemendikbudristek

Dilansir dari laman Kemendikbudristek, salah satu langkah pertama yang telah dilakukan IHA adalah memperbarui Museum Song Terus di Pacitan, Jawa Timur

Baca Selengkapnya

JPPI Minta Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 Dicabut: Sumber UKT Naik

20 jam lalu

JPPI Minta Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 Dicabut: Sumber UKT Naik

JPPI mendesak Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada PTN dicabut

Baca Selengkapnya

Alasan Kemendikbudristek Buka Jalur Mandiri

20 jam lalu

Alasan Kemendikbudristek Buka Jalur Mandiri

Kemendikbudristek menjelaskan alasan pemerintah membuka jalur seleksi mandiri untuk penerimaan mahasiswa baru masuk perguruan tinggi.

Baca Selengkapnya

BEM SI Masih Lihat Situasi soal Rencana Aksi Tolak UKT Mahal

1 hari lalu

BEM SI Masih Lihat Situasi soal Rencana Aksi Tolak UKT Mahal

BEM SI ingin segera melakukan diskusi dengan Kemendikbudristek sehingga melahirkan kebijakan untuk menyelesaikan masalah UKT.

Baca Selengkapnya

BEM SI Minta Pemerintah Cabut Permendikbudristek 2/2024 tentang UKT

1 hari lalu

BEM SI Minta Pemerintah Cabut Permendikbudristek 2/2024 tentang UKT

BEM SI ingin segera melakukan diskusi dengan Kemendikbudristek sehingga melahirkan kebijakan untuk menyelesaikan masalah UKT

Baca Selengkapnya

Komisi X DPR Bakal Evaluasi Study Tour usai Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana Depok

1 hari lalu

Komisi X DPR Bakal Evaluasi Study Tour usai Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana Depok

Komisi X DPR akan meninjau kembali sejauh mana output study tour terhadap pengembangan pendidikan siswa usai kecelakaan bus SMK LIngga Kencana

Baca Selengkapnya

Kemendikbudristek Nilai Pandangan Subsidi Silang dalam UKT Tidak Tepat

2 hari lalu

Kemendikbudristek Nilai Pandangan Subsidi Silang dalam UKT Tidak Tepat

Mahasiswa mampu yang mendapatkan UKT kelompok terakhir artinya membiayai biaya secara mandiri. Ia tak membantu mahasiswa kurang mampu.

Baca Selengkapnya

UIN Sebut UKT Naik Akibat Inflasi, Kemendikbudristek: Itu Keliru

3 hari lalu

UIN Sebut UKT Naik Akibat Inflasi, Kemendikbudristek: Itu Keliru

Kemendikbudristek merespons soal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menyatakan, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dipengaruhi oleh inflasi

Baca Selengkapnya

Kemendikbudristek Bilang Kampus Dibebaskan Tentukan Kelompok UKT, Kecuali Kelompok 1 dan 2

3 hari lalu

Kemendikbudristek Bilang Kampus Dibebaskan Tentukan Kelompok UKT, Kecuali Kelompok 1 dan 2

Bila sudah memenuhi kedua kelompok itu, perguruan tinggi diberi kebebasan menentukan jumlah kelompok dan tarif tiap kelompok UKT.

Baca Selengkapnya

Kemendikbud Akui Masih Ada Kasus UKT yang Tak Sesuai dengan Ekonomi Mahasiswa

3 hari lalu

Kemendikbud Akui Masih Ada Kasus UKT yang Tak Sesuai dengan Ekonomi Mahasiswa

Kemendikbud mengakui, masih terdapat kasus adanya ketidaksesuaian antara UKT yang harus dibayarkan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa

Baca Selengkapnya