Serangan pada Situs Media Project Multatuli, KKJ: Ancam Kebebasan Pers
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Eko Ari Wibowo
Jumat, 8 Oktober 2021 13:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam tindakan Polres Luwu Timur yang memberikan cap hoaks terhadap karya jurnalistik yang diterbitkan situs media projectmultatuli.org.
Koordinator KKJ Erick Tanjung menyebut, artikel berita dalam serial laporan #PercumaLaporPolisi berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” itu ditulis berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait, termasuk kepolisian Luwu Timur.
"Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis," ujar Erick lewat keterangan tertulis, Jumat, 8 Oktober 2021.
Ia mengingatkan, Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.
Selain itu, KKJ juga mengecam dan mendesak pihak-pihak terkait menghentikan upaya serangan berupa Ddos yang dilakukan kepada media sebagai respon dari pemberitaan. "Serangan digital kepada media merupakan bentuk kejahatan penghalang-halangan kerja jurnalistik dan mengancam demokrasi," ujar Erick.
Situs media projectmultatuli.org diduga mendapat serangan DDoS (Distributed Denial of Service) pada Rabu, 6 Oktober 2021 pulul 18.00 WIB. Serangan terjadi hanya berselang dua jam setelah mereka menerbitkan satu artikel berita dalam serial laporan #PercumaLaporPolisi berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” sore sekitar pukul 16.00 WIB.
DDoS sendiri merupakan salah satu bentuk serangan digital yang dilakukan dengan membanjiri lalu lintas server dengan beban yang berat, salah satunya dengan mengirimkan request ke server secara terus menerus hingga tidak lagi bisa menampung koneksi dari user lain.
Erick Tanjung menyebut serangan tidak hanya terjadi pada situs, melainkan juga di media sosial, baik twitter dan Instagram, karena Project Multatuli juga menerbitkan karya jurnalistik dengan judul berita dugaan kekerasan seksual terhadap anak itu melalui platform media sosial. Berita tersebut viral dan netizen ramai-ramai membagikan ke akun medsos mereka.
"Tidak butuh waktu lama setelah berita itu menyebar, akun bernama @humasreslutim memberikan klarifikasi melalui kolom komentar. Sayangnya, dalam klarifikasi tersebut menuliskan nama lengkap orang tua anak korban kekerasan seksual (pelapor dan terlapor)," ujar Erick.
Merespon hal tersebut, tim Project Multatuli memilih untuk menghapus komentar tersebut dengan mempersilakan kembali memberikan klarifikasi tanpa menyebut nama.
Akun @humasreslutim yang diduga milik Polres Luwu Timur itu juga diketahui mengirim DM berisi klarifikasi ke sejumlah akun medsos yang menyebarkan artikel Project Multatuli. "Tak berselang lama, sejumlah akun tidak dikenal mulai membanjiri kolom komentar yang mengamini klaim sepihak Polres Lutim tersebut," ujar Erick.
Erick menyebut, tindakan pihak Polres Lutim dengan melabeli satu karya jurnalistik yang terbitkan secara profesional merupakan bentuk pengabaian pada supremasi hukum. Mestinya, ujar dia, aparat kepolisian melakukan upaya hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. "Bukan kemudian justru mengklaim berita terkonfirmasi dengan sumber dan data yang benar sebagai informasi palsu," tuturnya.
Selain itu, penyebutan identitas orang tua korban oleh admin @humasreslutim dalam story IG diduga telah tidak profesional dan mengabaikan hukum.
Pasal 17 ayat (2) UU Perlindungan Anak mewajibkan setiap pihak untuk merahasiakan identitas anak yang menjadi korban kekerasan seksual. “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”
"Termasuk identitas dan tentu tidak hanya terbatas pada nama korban. Jika mengacu pada Pasal 19 ayat (2) UU Peradilan Anak, identitas anak juga termasuk nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak," ujar Erick.
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
DEWI NURITA
Baca: 3 Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan