Novel Baswedan Ingat Masa Kanak-kanak di Kampung Sumur Umbul Semarang
Reporter
S. Dian Andryanto
Editor
S. Dian Andryanto
Jumat, 1 Oktober 2021 06:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Novel Baswedan, salah seorang pegawai KPK yang dianggap tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), mengakhiri masa jabatannya kemarin, 30 September 2021. Ia bersama 56 pegawai meninggalkan Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta yang menjadi tempat mereka mengabdi memberantas koruptor, belasan tahun lamanya.
Novel Baswedan, peraih penghargaan Satyalancana Dharma Nusa, Satyalancana Kesatria Tamtama dan beberapa penghargaan lainnya ini, pada Selasa 11 April 2017, usai salat subuh di dekat rumahnya diserang dengan penyiraman air keras ke wajahnya yang membuat matanya rusak.
Dalam kondisi tersebut, Novel masih melakukan tugasnya. Termasuk memimpin tim menangkap mantan Sekretaris MA Nurhadi yang sebelumnya buron dalam kasus suap Rp 83 miliar rentang 2012-2016 terkait terkait pengurusan perkara di pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali di MA. Banyak lagi prestasi ia telah torehkan dalam tugasnya sebagai penyidik senior KPK, sebut saja OTT dua menteri, Mensos Juliari batubara dalam kasus bansos dan Menteri KKP Edhy Prabowo dalam kasus suap ekspor benih lobster.
Di balik segala pencapaiannya di KPK itu, bagaimana masa kanak-kanak Novel Baswedan?
Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Salim Baswedan dan Fatimah ini, menceritakan mereka sekeluarga harus berpindah-pindah tempat tinggal karena keadaan ekonomi tidak memungkinkan. “Semua makanan apa saja rasanya enak. Tapi, kalau bisa beli gandos, makanan tradisional, wah senang sekali,” kata dia.
Ia mengingat masa kecilnya tinggal di daerah Kampung Sumur Umbul, Semarang. “Tempat itu terletak di area Kota Lama Semarang, posisinya dekat Gereja Blenduk, gereja besar peninggalan Belanda, dan tidak jauh dari Pasar Kobong, pasar besar setelah Pasar Johar,” kata ayah lima anak ini, berkisah.
Kampung Sumur Umbul, sebenarnya tak jauh dari pusat Kota Semarang. “Saat itu, kebanyakan warga kurang mampu tinggal di sana. Tidak banyak yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, paling dua atau tiga orang saja, itupun kemudian mereka pindah tempat tinggal. Daerah tempat saya tinggal itu, dikenal dengan premanismenya,” ujarnya.
Novel menceritakan, “Saya dari keluarga besar, warga sekitar menghormati kami sekeluarga, mungkin karena mereka mengenal kiprah kakek saya (Umar Baswedan, saudara pahlawan nasional AR Baswedan), yang kerap membantu warga sekitar. Ketika kami susah, masyarakat pun memberikan bantuan. Kondisi orangtua saya saat itu ada masalah sedikit dengan ekonomi juga, jadi kami semua merasa sama,” kata dia, menceritakan.
Novel Baswedan ingat, saat ia berusia 9 tahun pun sempat pindah rumah kontrakan di daerah Jalan Supriadi, Semarang. Saat itu tempat ini di daerah perdesaan.
“Kemudian, sekitar umur 11 tahun atau 12 tahun, kami sekeluarga pindah lagi ke daerah Citarum, Indragiri di Semarang Kota. Tidak lama di daerah ini. Kemudian kami pindah Kembali ke Kampung Sumur Umbul, jika sebelumnya kontrak di rumah nomor 81, kemudian saat pindah ke rumah nomor 84. Saya senang karena bertemu dengan teman-teman lama dan di lingkungan yang sudah saya kenal sebelumnya,” ujarnya.
Baca: Istri Novel Baswedan: Suami Saya Tak pernah Langgar Kode Etik hingga Hari ini